Tidak seperti yang diduga selama ini, bahwa cinta sepenuhnya merupakan hal yang jauh dari sekadar erotika. Cinta merupakan elan vital kehidupan. Pada titik tertentu ia merupakan suatu daya evolusi. Seperti yang dikatakan Jalaludin Rumi, bahwa kehidupan berporos pada cinta. Sekadar ilustrasi, setiap laron akan mendekati cahaya. Upaya mendekati itu yang disebut sebagai cinta. Semesta selalu dalam keadaan tidak diam. Ketidakdiaman tersebut yang disebut sebagai cinta. Tulisan berikut merupakan pengantar untuk membahas cinta—dalam hal ini cinta yang diterjemahkan dalam bentuk pola relasi—dalam tinjauan berbeda, yakni poliamor dan yang saya sebut sebagai cinta kemitraan (love partnership atau love ecological).
Sebuah Kritik untuk Relasi Cinta
Tulisan ini berpijak pada tesis bahwa cinta dengan relasi cinta adalah hal berbeda satu sama lain: cinta adalah lain hal dan relasi cinta adalah satu hal. Dengan demikian, kritik cinta dalam bagian ini lebih difokuskan pada relasi cinta. Pada sisi lain, persoalan yang terjadi di dalam percintaan lebih banyak bersumber pada persoalan relasi cinta. Tentu saja, bukan berarti bahwa tidak terdapat ketidaktepatan dalam membaca dan memaknai cinta. Ketidaktepatan tersebut juga turut memengaruhi dalam membangun dan menjalankan relasi cinta.
Relasi Cinta Kepemilikan
Cinta, dalam hal ini cinta yang diterjemahkan dalam bentuk pola relasi, selalu dilihat dengan cara kepemilikan. Ketika dua orang, atau lebih, sedang saling mencinta dalam melakukan pola relasi, segera langsung saja keinginan untuk memiliki menjadi akartunjang dalam hubungan pola relasi berikutnya. Cinta telah merubah pola relasi kedua orang tersebut, yang sebelumnya tidak mengenal konsep atau logika kepemilikan.
Konsep kepemilikan manusia atas nama cinta tentu saja merupakan fenomena sosial. Dimaksud fenomena sosial, persoalan tersebut tidak lepas dari faktor kultur dan sosial yang ada. Dengan demikian, konsep tersebut dapat dilacak penelusuran perjalanannya. Dan, untuk dapat melakukan hal tersebut, disiplin antropologi dan arkeologi, mungkin juga filologi, merupakan hal yang sangat membantu untuk merekonstruksi konsep kepemilikan manusia atas nama cinta. Akan tetapi, karena keterbatasan dan kesulitan tersendiri, saya tidak akan mengkritik secara mendalam dengan menggunakan hasil kajian antropologis dan arkeologis untuk tulisan ini kali. Sebagai sebuah pengantar soal poliamor, saya berpendapat bahwa mengenyampingkan data-data material soal tersebut masih bisa diterima.
Sejak cinta dipahami sebagai suatu logika untuk memiliki manusia atas nama cinta, tentu saja patut dipertanyakan soal cinta itu sendiri. Sebelum itu, dimaksud dengan logika atau konsep memiliki manusia atas nama cinta ialah memaknai dan membaca cinta sebagai pola relasi yang tidak membebaskan kedua orang yang menjalankannya. Dengan cinta, kebebasan kehendak manusia mendadak terenggut begitu saja. Pola relasi tidak dijalankan dengan cara kesepakatan bersama.
Kebebasan kehendak yang menjadi akartunjang manusia dalam menentukan sikap atau mengambil pilihan hidup terenggut oleh kekasihnya. Manusia dengan seenaknya diperlakukan laiknya seperti benda yang tak berkesadaran. Membicarakan otonomi manusia, secara ontologis ia berpijak pada kebebasan berkehendak manusia. Tanpa ada kebebasan kehendak manusia, maka tiada sikap otonomi manusia itu sendiri, pun justifikasi moralitas. Kebebasan kehendak dalam diri manusia merupakan hal inheren. Ia harus dirayakan dalam pola relasi yang dibangun dengan landasan cinta. Itulah yang dimaksud dengan kepemilikan manusia atas nama cinta. Dengan demikian, memiliki manusia bukan hanya menafikan kebebasan kehendak manusia, melainkan juga memang tidak bisa dipertanggungjawabkan secara rasional. Ketika kebebasan kehendak manusia dinafikan, pada dasarnya hal tersebut sama saja dengan perbudakan. Dengan demikian, menjalani pola relasi cinta yang di dalamnya kebebasan kehendak salah satu partisipannya dinafikan sedemikian, sama saja dengan menjalani perbudakan, paling tidak pada tataran substansi memiliki hal sama. Cinta adalah berbicara perayaan kebebasan kehendak, bukan penafian kebebasan kehendak.
Secara umum, kebebasan kehendak selalu absen atau tidak dirayakan dalam hubungan yang didasarkan cinta. Penafikan kebebasan kehendak manusia dalam percintaan dengan mudah dapat ditemukan. Seseorang mendadak kehilangan sikap swakelola dalam mengambil keputusan yang terkait dengan kehidupannya. Seperti, berpindah agama semata pasangannya memeluk agama yang beda dengan dirinya agar kekasihnya mau meneruskan hubungannya; berhenti bekerja semata pasangan memintanya; berhenti menjalani aktivitas yang disenangi semata sang kekasih tidak menyukainya; dll.
Mendadak, segala tindakan harus mendapatkan izin. Seperti, jika hendak bepergian ke suatu tempat akan menjadi salah jika tidak memberitahu sebelumnya; akan menjadi salah jika menghabiskan waktu dengan teman tanpa memberitahu kekasih; dll.
Mendadak, seseorang terpaksa menyisihkan waktu untuk kekasihnya dengan cara menghapus waktu untuk kegiatan yang lain tanpa ada musyawarah yang dilakukan terlebih dahulu. Seperti, membatalkan janji pada suatu urusan dengan alasan takut kekasihnya memarahinya jika tidak menemani; mengurangi agenda kegiatan yang sangat ingin dilakukan dan menyenangkan semata sang kekasih meminta banyak waktu untuknya tanpa memedulikan kesibukan kehidupan pasangannya; dll.
Mendadak, sikap afeksional, katakanlah kasih-sayang, untuk orang lain ditekan atau dinafikan sedemikian rupa. Seperti, tidak boleh mengunjungi teman yang dikangeni yang sudah lama tidak berjumpa; tidak boleh membagi waktu untuk teman; dicemburui atas kedekatan kita dengan teman, yang kadang sang teman lebih lama kita kenal tinimbang sang kekasih itu sendiri; tidak boleh membagi kasih-sayang dengan teman maupun yang lainnya. Dengan alasan, hanya kekasih kita saja yang layak untuk mendapatkannya, yang lain tidak; memisahkan dan mempertentangkan suatu sikap afeksional dengan cara memilih antara teman dengan kekasih; dll.
Mendadak, sikap cemburu yang berlebihan sedemikian rupa selalu hadir dalam pola relasi yang dibangun. Seperti, jika kita pergi dengan seseorang, sang kekasih selalu menuduh kita telah melakukan perselingkuhan, atau sudah tidak menyayangi dirinya lagi; selalu dicurigai tanpa berdasar terhadap pola relasi kita dengan teman-teman; dll.
Mendadak, orang kehilangan sikap otonom atas tubuhnya. Seperti, tidak boleh memakai pakaian yang kita nyaman menggunakannya semata ada bagian tertentu dari tubuh yang terlihat; membentuk dan merawat tubuh agar ideal semata permintaan pasangan agar tidak ditinggal; kekasih melarang menghiasi tubuh sendiri semata karena dia tidak menyukainya (misalnya, tato, body piercing, dll.); melakukan kekerasan fisik semata sebagai pasangan berhak melakukannya; dll.
Mendadak orang menjadi tidak berani lagi dalam mengambil sikap dan keputusan serta pilihan. Seperti, selalu diharuskan meminta izin jika pengin mengambil sikap dan keputusan serta pilihan menyangkut diri sendiri, yang sebelum kehadiran pasangan hal tersebut dilakukan sendiri harus tanpa izin;
Mendadak berpraanggapan bahwa hanya seorang saja yang pantas dan layak serta harus diberikan cinta dan kasih-sayang kita, yang lain tidak. Mendadak, terdapat stratifikasi pola relasi baru bahwa kekasih lebih utama ketimbang teman, orangtua, guru, atau siapa saja, selain kekasih sendiri.
Mendadak, seseorang harus menuruti perkataan kekasihnya, tanpa memeriksa apakah, atau terlepas dari, perkataan sang kekasih benar atau tidak. Sang kekasih mendadak menjadi Nabi atau Dewa, bahkan Tuhan, tanpa cela yang layak didengar. Sebuah perkataan sang kekasih selalu benar, tanpa perlu diperiksa. Kadang-kadang, kekasih melebihi Tuhan itu sendiri.
Mendadak, peraturan-peraturan muncul dalam pola relasi yang dibangun di atas dasar pijakan cinta itu, tanpa ada samasekali upaya dialog atau kesepakatan dalam perumusannya. Peraturan tersebut melingkupi pelbagai hal. Seperti, pakaian, makanan, kesukaan, teman, pilihan, dll. Peraturan tersebut dirumuskan secara sepihak dan diberlakukan untuk sepihak saja. Bahkan, tidak sedikit peraturan tersebut malah terjebak pada normativitas kultural dan sosial, bukan dengan sinaran cinta itu sendiri. Seperti, seorang wanita tidak boleh merokok, meminum minuman beralkohol, bertato, karena tidak pantas dilihat atau dinilai oleh masyarakat; lelaki itu harus menjaga dan mencari nafkah; lelaki itu harus bekerja, wanita tidak; dll.
Mendadak, seseorang menjadi sering berhadapan dengan pertengkaran dengan kekasihnya dalam pola relasi yang dibangun, tanpa samasekali pernah memaknai cinta sebagai hal yang membebaskan dan membahagiakan. Dengan demikian, ketika cinta menjadi tidak membebaskan dan membahagiakan, maka ada yang salah dengan pembacaan dan pemaknaan cinta itu. Tapi, tetap saja pola relasi demikian dipertahankan. Seakan ketakutan kehilangan, sehingga seakan hal tersebut, mengakhiri hubungan, dapat membuat dunia berakhir. Sering kita mendengar keluhan seperti: “Iya, saya tahu bahwa pasangan saya selalu kasar terhadap saya, bahkan menyakiti dengan cara kekerasan fisik. Tapi, saya masih sayang sama dia.” Yang perlu diperhatikan di sini ialah antara afeksi dengan keputusan untuk membuat suatu komitmen dengan pasangan adalah dua hal berbeda. Cinta adalah satu hal dan komitmen atau pola relasi adalah lain hal. Dengan demikian, tidak semua orang yang kita cinta bisa menjadi pasangan kita. Memutuskan hubungan dengan orang yang kita cinta bukan berarti kita menipu diri kita sendiri, melainkan memang tidak bisa melakukan pola relasi yang mengandaikan kerja sama atau kemitraan (partnership). Kemitraan di sini yang memang selalu luput dalam pembacaan dan pemaknaan dalam menjalankan hubungan yang bersandarkan cinta. Relasi cinta, entah itu disebut dengan pacaran, pernikahan, atau apa pun namanya itu, ia mengandaikan prinsip kemitraan dalam upaya menjalaninya. Tanpa kemitraan, kita akan gagal membangun relasi cinta yang sehat—bahkan kalau mau lebih ekstrem, tidak ada relasi cinta tanpa kemitraan.
Problematika cinta yang sudah dipaparkan itu, yang mungkin masih banyak problematika lainnya, bersumber pada satu hal, yakni hilangnya kebebasan berkehendak salah satu pasangan dalam relasi cinta. Implikasinya, cinta malah memiliki. Seperti yang sudah disebutkan, bahwa memiliki di sini diartikan sebagai penafian kebebasan kehendak dan kesadaran seorang partisipan dalam relasi cinta. Laiknya benda yang tak berkesadaran, keberadaannya kita yang menentukan. Kendati demikian, walaupun kita bebas memperlakukan benda yang kita miliki dengan cara apa pun, tetap saja fakultas akal membimbing kita. Maksud saya, walaupun benda itu tidak berkesadaran, tidak berarti kita bisa memperlakukan seenaknya saja. Paling tidak, perlakukan kita terhadap benda tersebut dipengaruhi oleh faktor emosional dan akal kita. Katakanlah, telpon genggam, sebagai benda, yang saya miliki, dengan bebas bisa saya perlakukan sesuka hati. Bisa saja saya banting tanpa alasan. Akan tetapi, fakultas akal saya segera mempertanyakan sikap saya.
“Jika, telpon genggam saya banting sampai rusak, bagaimana nanti saya berkomunikasi yang membutuhkan telpon genggam?”
“Kenapa saya harus membanting telpon genggam saya tanpa sebab?”
“Apakah dengan membanting telpon genggam kekesalan saya bisa berkurang?”
Jika, benda saja diperlakukan masih penuh dengan pertimbangan emosional dan akal kita, maka memperlakukan manusia sebagai benda benar sangat tidak bisa dibenarkan secara akal. Terlebih jika kita memperlakukan manusia sebagai benda dengan diikuti tanpa pertimbangan emosi dan penalaran, sungguh sangat tidak bisa dibenarkan tidak hanya secara akal, melainkan fakultas hati/intuisi manusia kita.
Selama ini kecenderungan umum dalam menjalankan relasi cinta selalu terjebak dengan ketimpangan. Yang satu menjadi supraordinat, sedangkan yang lain tersubordinatkan. Saya katakan terjebak, kadang kala hal tersebut diakibatkan atas bentuk cara pemikiran kita dibangun. Tentu saja, saya sedang tidak menafikan faktor di luar pemikiran. Katakan saja, faktor lingkungan atau sosial dan kultural turut membentuk pemikiran kita. Dengan demikian, tidak seperti yang diduga, cinta juga tidak mululu urusan hati, melainkan juga persoalan rasional dan sosial serta kultural.
Bentuk Cinta Nonkepemilikan
Bagian sebelumnya memaparkan dan menjelaskan relasi cinta yang dijalankan secara kepemilikan dan nonkemitraan. Bagian berikut membahas bentuk cinta nonkepemilikan, yakni poliamor. Selain membahas poliamor, saya juga akan memaparkan gagasan saya soal relasi cinta, yakni cinta kemitraan (love partnership atau love ecological), yang juga bisa dikatakan sebagai kritik saya atas poliamor.
Poliamor
Poliamor secara kebahasaan berasal dari kata poly dan amory. Poly artinya banyak atau jamak, sedangkan amory adalah cinta. Secara bahasa, dengan demikian, poliamor berarti banyak cinta. Secara terminologis poliamor adalah konsep cinta yang terbuka dan bebas dalam membangun relasi cinta. Dalam poliamor, semua orang adalah peserta bebas atau partisipan. Dalam partisipan diandaikan kemitraan dalam pelaksanaannya. Adalah kemitraan merupakan prasyarat dalam membangun atau menjalankan relasi cinta.
(bersambung.... )
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.