Tampilkan postingan dengan label Puasa Ramadan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Puasa Ramadan. Tampilkan semua postingan

Hiper-Ramadhan (3)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.05.2010



Selamat Datang Bulan Kebohongan

Selamat Datang Bulan Kemunafikan
Selamat Datang Bulan Kekerasan
Selamat Datang Bulan Konsumtif
Selamat Datang Ramadhan

Semenjak segala suatu dilihat memunyai nilai guna dan nilai tukar, manusia berupaya sedemikian untuk menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas. Mulai dari hal yang merupakan hal krusial dalam hidup, air sebut saja, hingga hal yang khas dari kita, hasrat dan daya kreasi kita, harus kita dapatkan dengan mengonsumsi, yang artinya kita harus mengeluarkan uang, sebagai alat tukarnya. Begitulah, hingga kita merasa terkesima dan tak mengerti, mengapa ada manusia yang mati karena kelaparan, buruknya air minum, tak mampu berobat, dll., di tengah masyarakat secara global maupun lokal hidup dengan pola konsumtif tingkat tinggi.

Kapitalisme, sebuah paradigma ekonomi dunia modern, tidak hanya memasuki wilayah publik saja dalam mengakumulasikan kapitalnya, melainkan juga wilayah publik. Mengarahkan segala hasrat Anda untuk dimanifestasikan kepada hal penting menurut logika kapital. Tidak cukup, kapitalisme pun menelikung agama. Sebut saja seperti sekarang ini, Ramadhan.

Paling tidak, dua minggu sebelum Ramadhan tiba-tiba, kapitalisme mulai meruyak ke dalam ranah publik dan privat pada Ramadhan. Mulailah ranah publik, katakanlah seperti taman kota, jalanraya utama, terminal, halte, dll., dipenuhi dengan aneka media iklan untuk menyongsong Ramadhan. Tidak soal ketika kaum Muslim gembira menyambut kedatangan Ramadhan. Masalahnya menjadi lain, ketika menyambut kedatangan Ramadhan ditujukan untuk mengakumulasikan kapital sebanyak-banyaknya, seperti yang ditawarkan oleh iklan-iklan tersebut. Seperti, jangan lupa untuk berbuka pada tempat ini, tempat itu; berbukalah dengan makanan ini, makanan itu; dll.

Mendadak pusat-pusat perbelanjaan merubah tataruangnya dipenuhi dengan semangat Ramadhan, atau mendadak membuka gerai-gerai kagetan khusus menyambut datangnya Ramadhan. Jamak pusat penjualan makanan cepat saji, menawarkan menu baru spesial Ramadhan. Tidak mau ketinggalan, dunia pertelevisian pun. Muncullah berlusinan sinetron yang diklaim sebagai bernafas religi untuk memberikan makna tambahan dalam menjalankan puasa orang banyak. Mendadak para aktor/aktris, khususnya aktris, yang sebelumnya abai akan penampilan berpakaian, kini menjadi lebih tertutup, katakanlah kalau mau lebih islami. Setelah puasa berlalu, kembali pola pakaian tersebut ditanggalkan. Hanya demi tuntutan peran, katanya. Atau menjaga citra di tengah masyarakat, sambungnya. Masih banyak daftar yang bisa ditambahkan betapa ekstensifnya kapitalisme meruyak ke mana-mana dalam ranah keagamaan. Betapa meningkatnya daya konsumtif, kebohongan diri, kemunafikan masyarakat Muslim ketika menjalankan puasa.

Semoga kita dapat berpuasa full dan belanja full.
Baca selengkapnyaHiper-Ramadhan (3)

Hiper-Ramadhan (2)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.05.2010

Marhaban Ya Syahr Ramadhan
Selamat Datang Syahr Ramadhan
Marhaban Ya Ramadhan
Selamat Datang Bulan Konsumtif

Era kontemporer atau kekinian ialah era komodifikasi segala sesuatu. Kehidupan kontemporer dicirikan kegandrungan pada budaya populer, budaya komoditas, dan budaya konsumerisme dalam keseharian masyarakat kebanyakan. Ketika hal-hal tersebut mulai memengaruhi pola keberagamaan, maka keberagamaan menjadi suatu jagad komoditas, citra, dan konsumerisme. Ibadah puasa kaum Muslim, yang jatuh pada syahr Ramadhan, pun tak luput dari hal-hal tersebut. Syahr Ramadhan menjadi terperangkap pada suatu ruang komoditas, citra, dan konsumerisme.

Puasa syahr ramadhan, seperti hal ibadah lainnya, memunyai akar tunjang pada pribadi Nabi Muhammad saaw. Yang artinya, puasa memunyai rujukan atau referensi dalam pelaksanaannya. Puasa yang diamanatkan Tuhan, melalui Rasul-Nya, kepada manusia ialah bertujuan untuk membina manusia mencapai tingkat eksistensi murninya atau untuk menghindarkan nafsu duniawi yang menyebabkan terhapuskan nafsu ruhaniahnya. Puasa adalah menahan--seperti arti asalnya yakni menahan atau diam, yang berakar kata dari shad-ya-mim (shiyam)--diri dari segala hal yang membuat manusia mengalami ketidakseimbangan pada dirinya. Puasa ialah menahan diri dari segala hal yang dapat merusak kadar kemanusiaan manusia. Puasa adalah diam[1] terhadap segala perbuatan tercela.

Hal yang sering luput dari pemahaman kaum Muslim kebanyakan ialah, bahwa segala ibadah, baik itu mahdhah dan muamalah, mengandung pesan atau nilai moral untuk direngkuh oleh manusia agar mencapai tingkat paripurna dalam akhlak. Dengan demikian, puasa ialah suatu upaya penggemblengan-diri (riyadhah) manusia. Puasa, dengan melakukannya, diharapkan kaum Muslim mampu merasakan kegetiran dan kepahitan ketika rasa lapar dan dahaga hadir dalam dirinya. Puasa adalah mengingat, bahwa ada di luar sana manusia yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya, yakni makan dan minum. Puasa juga memerhatikan persoalan kemiskinan. Puasa adalah suatu modus penyentilan eksistensi akan ketamakan dan kekikiran manusia. Puasa ialah latihan merasakan penderitaan orang lain. Dengan kemampuan merasakan penderitaan orang lain, manusia diharapkan mampu memberi dan berbagi kepada sesamanya. Puasa juga modus eksistensi egalitarian. Rasa lapar dan dahaga yang selama ini hanya dirasakan oleh banyak orang miskin, juga dirasakan oleh banyak orang yang tidak pernah mengalaminya samasekali.

Pada era kekinian, ketika syahr Ramadhan masuk ke dalam ruang komoditas, citra, dan konsumerisme, maka ramadhan kehilangan akar tunjang, referensi, dan maknanya. Syahr Ramadhan kontemporer selalu dirayakan gegap gempita pada wilayah permukaan, penampakan, dan tanda-tanda. Sibuk dan ramai-ramai ruang-ruang dimodifikasi sedemikian untuk mencitrakan Ramadhan, seperti ketupat, bedug, atmosfir padang pasir, Timur Tengah, mediterania, dll. Pusat-pusat perbelanjaan mendadak menyulap ruangannya atau mendekorasi dengan citra Ramadhan. Reklame-reklame komoditi, yang sebelumnya tidak terpaut dengan semangat Ramadhan, mendadak menciptakan permainan dan rangkaian tanda dan citra Ramadhan.

Puasa kontemporer ialah berbuka dengan menu ini-itu (fastfood, dll.), berbuka pada tempat ini-itu (cafe, hotel, dll.), berbuka bersama dengan pihak atau orang ini-itu (selebritas, radio, televisi, ustadz selebritas[2], dll.), mengenakan pakaian ini-itu (sarung, baju koko, kupiah, jilbab, kerudung, dll.). Puasa kekinian ialah bagaimana merayakannya dengan membeli sesuatu dan bermain citra di dalamnya. Puasa yang telah kehilangan makna dasarnya.

Berbuka dengan suatu menu yang ditawarkan oleh restoran fastfood, misalnya, tidak hanya sekadar berbuka atau makan, melainkan mengandung citra yang hendak ditampilkan. Seperti, menciptakan cita-rasa atau selera atas tanda dan/ dari citra tertentu, misalnya. Berbuka pada suatu tempat yang ditawarkan, katakanlah hotel atau cafe, tidak hanya sekadar berbuka atau makan, melainkan soal status atau citra kelas yang hendak dicitrakan. Begitupun soal permainan citra, yang sebelumnya absen, mendadak hadir pada ruang publik. Sebuah rangkaian tanda dan citra yang memproduksi makna-makna baru puasa yang tidak memunyai referensi dasar, namun dianggap sebagai realitas. Padahal sejatinya ia merupakan sebuah realitas artifisial. Sebuah rangkaian tanda dan citra yang akan menghilang kembali ketika syahr Ramadhan berlalu.

Dalam masyarakat konsumer atau "masyarakat tontonan" (society of spectacle), puasa menjadi sebuah ajang reproduksi makna yang dinisbahkan pada hal lain atau di luar puasa itu sendiri. Pada akhirnya, puasa dikembangbiakkan di dalam jagad komoditas yang menciptakan suatu gaya hidup konsumtif. Sebuah gaya hidup yang memunyai rujukan aksiologis logika konsumtif. Kendati demikian, aksiologis tersebut dianggap sebagai bagian dari ritual puasa.

Puasa terjebak pada perangkap budaya massa dan budaya populer, yang didalamnya berbagai bentuk artifisialitas tanda dan citra. Berbagai bentuk kemasan citra dan tanda serta gaya hidup, seperti menu buka puasa, berbuka pada tempat-tempat komoditas tertentu, pakaian bersimbol kesalehan, fashion show, parcel, paket hiburan Ramadhan, acara kuis sambil menunggu berbuka, berbuka bersama selebritas, baik itu dari kalangan artis dan ustadz, dianggap sebagai bagian ritual puasa hakiki.

Fenomena syahr Ramadhan dan puasa kekinian, telah kehilangan jejak jejak-jejak makna yang disuritauladankan oleh Nabi dan dalil-dalil yang teperici. Hal tersebut, membuat syahr Ramadhan dan puasa menjadi berkembang sebagai hiperrealitas, hiperrealitas Ramadhan. Adalah realitas Ramadhan yang telah melampaui hakikat puasa itu sendiri. Maka Ramadhan adalah suatu perkembangan dan penciptaan berbagai bentuk realitas-realitas ritual artifisial. Yang mana sifat artifisialitas tersebut membawa pelbagai bentuk budaya materi yang sangat bertolak belakang dengan hakikat puasa itu sendiri, puasa yang sebagai sebuah ruang penggemblengan-diri dan pembersihan diri dari kekotoran nafsu duniawi yang menafikan nafsu ruhaniah.

Hiperrealitas adalah reliatas artifisial, yang tidak lagi berkaitan dengan realitas asasi, referensi dasar, sifat dasar, atau prinsip alamiahnya. Ia adalah realitas yang telah terdistorsi dari awal, yang menjadi model atau rujukannya. Hiperrealitas menciptakan sebuah kondisi, yang didalamnya citra dianggap sebagai kebenaran. Mematikan kemampuan sikap kritis dan reflektif untuk membedakan antara kebenaran dan kepalsuan, antara citra dan realitas. Hiperrealitas adalah penciptaan model-model kenyataan yang menafikan asal-usul dasar atau referensi realitas.

Ramadhan tidak lagi mengacu pada realitas dasar, melainkan realitas artifisial. Pelbagai kegiatan Ramadhan artifisial digalakan sedemikian, sehingga menjadi suatu realitas yang dianggap hakiki. Padahal sejatinya, ia adalah realitas artifisial. Realitas dasar menjadi realitas artifisial, sedangkan realitas artifisial menjadi realitas dasar.

Dekonstruksi Ramadhan Kontemporer
Hilangnya akar tunjang, pada kegiatan ibadah puasa, menjadikan puasa sebagai hiperrealitas. Puasa artifisial yang melampaui puasa hakiki itu sendiri. Hiperrealitas Ramadhan adalah kegiatan ibadah puasa yang dibangun pada dasar prinsip simulasi, yakni dimensi atau kegiatan puasa yang tampak, atau dibuat tampak sedemikian, seakan-akan dianggap sebagai bagian dari realitas yang asli, yakni semangat Ramadhan yang berakartunjang dan tumbuhkembang pada pribadi Rasulullah.
Puasa juga mengalami pereduksian sedemikian rupa. Menjadi sekadar fenomena ibadah yang dilihat pada permukaan, penampakan, dan tanda-tanda, dan tergerusnya makna puasa hakiki, pada nilai-nilai moral-spiritualnya. Puasa malah menjadi sekadar simbol-simbol yang digunakan untuk ungkapan dan identitas kesalehan: citra takwa, baju koko, kupiah, topi haji, sajadah, sarung, kerudung, jilbab, dll., yang semuanya dibuat khusus dan digunakan untuk syahr Ramadhan. Pasca-Ramadhan, semua hal tersebut dikuburkan kembali.

Puasa kekinian juga merupakan sebuah proses semiotisasi Ramadhan, yakni memasuki atau memuati nilai-nilai Ramadhan dengan makna-makna artifisial. Yang dicirikan oleh serangkaian tanda dan citra artifisial, yang tidak berkaitan samasekali dengan konteks puasa, melainkan diciptakan dan dikonstruksikan sedemikian, sehingga secara kolektif dianggap menjadi suatu bagian syahr Ramadhan. Sebagai misal, paket berbuka dengan selebritas, paket liburan Ramadhan, parcel lebaran, iklan-iklan produk yang memanfaatkan momen Ramadhan, sinetron-sinteron religi menyambut puasa, kuis-kuis menunggu sahur dan berbuka puasa, adalah contoh yang tidak ada kaitannya dengan hakikat puasa.

Puasa kekinian ialah gaya hidup, yang mengelompokkan masyarakat menjadi tefragmentariskan pada strata-strata tertentu, yang menampakkan ciri, tanda, simbol dan identitas mereka lewat citra pakaian yang dikenakan, citra menu berbuka yang dimakan, citra tempat-tempat tertentu yang dijadikan tempat berbuka, citra parsel lebaran yang dikirim atau diterima. Ia menciptakan divisi-divisi masyarakat Ramadhan berdasarkan status, prestise, dan citra serta tanda-tanda.

Sampai sini, bisa dikatakan bahwa hiperrealitas Ramadhan adalah merupakan sebuah bentuk logika konsumtif-lanjut hiper. Mengonsumsi makanan berbuka bukanlah untuk fungsi utilitasnya, melainkan mengonsumsi citra dan tanda diluar nilai puasa dan makanan itu sendiri. Dan sikap konsumtif lainnya.

Ramadhan, agar selalu mampu menjadi suatu proses transformatif kualitas seseorang, puasa haruslah dikembalikan pada referensi dasar, makna dasar, hakikat, dan nilai-nilai moral-spiritualnya. Kita harus mampu membedakan mana nilai puasa yang artifisial, dan mana nilai yang tidak. Dengan demikian, puasa adalah suatu upaya latihan diri untuk mentransformasikan kualitas kemanusiaan kita, bukan suatu pemanjaan diri.

Diriwayatkan, Nabi Muhammad saw berkata bahwa, "Betapa banyak orang yang berpuasa, tetapi tidak memeroleh apa pun dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga".

Alla kulli hal, selamat menunaikan ibadah puasa pada syahr Ramadhan ini kali.

Wa Allah a'lam.


[1] Diam terhadap perbuatan tercela di sini bukan berarti membiarkan segala kemungkaran, katakanlah ketidakadilan, terjadi, melainkan tidak melakukan atau mendekati perbuatan tercela.
[2] Yang saya maksudkan dengan ustadz selebritas ialah ustadz yang dilahirkan atau diciptakan oleh media elektronik mainstream, dalam hal ini televisi. Yang mana sebelumnya, ustadz tersebut tidaklah dianggap sebagai ustadz oleh masyarakat sekitar di mana ia tinggal. Dan selalu berkolaborasi pada ruang komoditas, seperti menjadi bintang iklan suatu produk, misalnya.
Baca selengkapnyaHiper-Ramadhan (2)

Hiper-Ramadhan (1)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.05.2010

Semua ibadah dalam Islam memunyai tujuan atau pesan moral. Bahkan, al-Qur'ân al-Karim, ketika hendak membicarakan persoalan, katakanlah seperti hukum dan ibadah, mendasarkan dirinya pada semangat moralitas tersebut. Dan, diriwayatkan secara kuat bahwa Nabi Muhammad mengatakan bahwa "Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". Dengan demikian, bisa kita katakan bahwa Islam memunyai dimensi moralitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dimensi moralitas berarti nilai sosial (muamalah), paling tidak untuk mengetahui kadar kualitas akhlak seseorang, pada ranah sosial kita bisa mengetahuinya.


Puasa Ramadhan bukanlah melulu ritual
Entah bagaimana memaparkan dan menjelaskan dengan sangat singkat dan komprehensif serta ekstensif, paling tidak dalam tulisan singkat seperti ini, tentang mengapa Islam yang tidak hanya memunyai satu dimensi, yakni multidimensi, pada kenyataannya memerlihatkan dirinya hanya satu wajah, yakni ritual atau hukum (fiqh); dimensi lain, seperti moralitas (aksiologis) dan intelektualitas, misalnya, hampir absen dalam keseharian kita. Paling tidak, pemunculan wajah Islam yang tunggal sedemikian tidaklah lahir dari ruang yang kosong. Ada berbagai hal yang melatari. Sampai sini, setidaknya, diketahui bahwa Islam tidak memunyai satu dimensi, melainkan multidimensi.

Puasa yang disinari dengan pandangan atau dimensionalitas keagamaan yang bersifat ritual belaka, akan menghadapi benturan dari tujuan puasa itu sendiri, yakni transformasi sosial yang diiringi dengan transformasi karakter kemanusiaan manusia (akhlak). Puasa ritual hanya dipahami sebatas menahan lapar dan dahaga. Akan tetapi, apa makna dari menahan lapar dan dahaga tidaklah direnungi. Pada Ramadhan, banyak orang membentuk pengajian, seakan-akan membaca al-Qur'ân itu hanya pada waktu bulan Ramadhan saja. Yang sebelumnya abai dan cuek terhadap pengemis, pada ini kali dengan cekatan memberi. Seolah-olah hanya pada bulan Ramadhan sajalah bersedekah itu. Ramai orang berusaha untuk mengejar waktu shalat tarawih yang sunnah itu dengan meninggalkan banyak hal penting, yang tidak kalah "wajibnya". Menghormati atau memerhatikan tetangga, misalnya. Tidak bisa dipungkiri, karena tidak mengetahui sejarah shalat tarawih, ada banyak orang yang menganggap bahwa tidak melaksanakan tarawih maka puasanya menjadi tidak afdhal. Padahal, sejatinya tidak begitu. Pada akhirnya, mencibirlah orang yang tarawih kepada orang yang tidak tarawih.

Ketika berbuka, banyak dari kita disibukkan dengan aneka pilihan menu apa yang hendak dimakan. Menu yang biasanya kita hidangkan pada meja makan kita paling banter sebulan sekali atau seminggu sekali, kini bisa setiap hari. Lihatlah, keadaan pasar pada pra-puasa dan ketika puasa. Ada lonjakan permintaan atau kebutuhan yang dengan mudah kita temukan. Ketika menjelang puasa dan Lebaran ('Id al-Fithr) harga-harga barang-barang, baik itu primer, sekunder, tersier, menjadi naik dengan sangat pesat. Ada hal yang tidak biasa terjadi di sini, sehingga menyebabkan harga-harga barang naik. Katakanlah itu, pola konsumsi kaum Muslim ketika sebelum puasa dan puasa serta menjelang lebaran, terdapat perbedaan grafik permintaan. Menariknya, pada saat yang sama, menjelang puasa atau lebaran, jumlah gelandangan dan pengemis meningkat.

Salah satu ketimpangan dalan ekonomi yang menyebabkan kemiskinan ialah tidak berjalannya distribusi kekayaan secara adil. Dengan kemajuan yang sudah dicapai oleh perdaban modern, tentu saja persoalan kemiskinan, paling tidak soal ketidakadilan dalam pendistribusian kekayaan, seharusnya bisa dijawab. Ironisnya, justru para ekonom tidak hanya sekadar tidak mampu menjawab, melainkan tidak mampu memahami inflasi, ledakan pengangguran, dsb. Ketidakmampuan ekonom tersebut terletak pada pandangan-dunianya yang melihat berbagai hal dengan cara terpisah, samasekali tidak memunyai kaiatan atau hubungan.

Sama halnya antara ekonom dengan orang yang tidak mengerti persoalan ekonomi, katakanlah nonekonom, yang tidak pernah memahami bahwa pola tindakannya memunyai pengaruh. Sebut saja kaum Muslim yang mendadak meningkatkan konsumsinya pada Ramadhan dan menjelang Lebaran, tidak pernah samasekali merenungkan akibat dari perilakunya. Tentu saja, ketidakmampuan berpikir secara integral dan holistik tersebut, tidak terpatri begitu saja pada benak kita. Sebagai makhluk individual, yang sekaligus makhluk sosial, kita tidak bisa memungkiri bahwa pada titik tertentu lingkungan sosial memunyai peran dalam membentuk karakter kemanusiaan kita. Dari sekolah hingga majelis taklim, kita sudah diajarkan hidup dengan cara-pandang modern, yang mekanistik-deterministik-reduksionistik-linear itu.

Dari sini, kita bisa mengerti mengapa zakat tidak pernah efektif dalam meningkatkan kesejahteraan. Jangankan untuk skala besar, untuk skala kecil pun zakat tidak efektif. Ketidakefektifan zakat dapat dilacak dari sikap mengeluarkan zakat tersebut. Kesadaran utama pada zakat ialah bahwa harta, harta dalam pengertian yang luas, yang dimiliki oleh seseorang terdapat hak orang lain yang membutuhkan. Kesadaran ini mengandaikan bahwa kehidupan seseorang tidak terpisah dengan kehidupan orang lain. Permasalahan yang kita hadapi ialah, kesadaran tersebut absen dari kesadaran kaum Muslim kebanyakan. Bagi mereka zakat urusannya ialah soal pahala dari Tuhan. Konsep seperti ini mengandaikan bahwa zakat itu untuk dirinya sendiri atau self-salvation, tidak untuk kemaslahatan bersama atau manusia (dalam hadits qudsi Tuhan mengatakan bahwa temukanlah diri-Nya di orang-orang yang tengah kelaparan, dan tidak berbaju serta dililit hutang). Dimensi sosial pada zakat samasekali hilang dalam model kesadaran seperti ini. Pada akhirnya, selain zakat menjadi tidak efektif, kita bisa melihat bahwa ada keterputusan dalam soal “sedekah” seperti ini. Ketika bulan Ramadhan berlalu, surutlah soal berbagi harta.

Selama ini, secara mainstream ibadah dipahami dengan melepaskan dimensi sosialnya. Tentu saja dimensi transendental merupakan akartunjang dalam ibadah itu sendiri. Akan tetapi, dimensi transendental tersebut merupakan sandaran nilai dari suatu perbuatan kita. Dengan kata lain, jika ada pertanyaan yang muncul bahwa darimana landasan aksiologis segala perilaku kita bersumber, maka kita menjawab dari nilai transendental tersebut. Ketika dimensi sosial dari ibadah tersebut hilang, maka kita akan dihadapi pada efektivitas ibadah kita dalam kehidupan yang kita jalankan. Karenanya, kita bisa mengerti mengapa segala ibadah diajarkan oleh agama dalam konfigurasi sosial. Shalat, misalnya, disebut-sebut al-Qur'ân sebagai upaya untuk mencegah diri dari perbuatan tercela dan keji serta. Puasa, zakat, dan haji demi meningkatkan kadar moralitas atau kesalehan sosial kita. Untuk yang pernah mengkaji tafsir al-Qur'ân secara maudhu'i akan mendapatkan bahwa benang merah ajaran Islam ialah untuk kebaikan manusia itu sendiri dalam kehidupan sosialnya. Jika agama menitikberatkan pada kehidupan akhirat, ia pun tidak pernah absen dalam menekankan kehidupan duniawinya. Dalam arti, jika kehidupan akhirat adalah kehidupan yang layak dikejar oleh orang beragama, agama tidak bisa melupakan kenyataan bahwa manusia hidup dalam dunia yang fana ini. Dengan demikian, untuk mencapai kebahagiaan akhirat, hal tersebut ditentukan pada kehidupan dunianya. Sampai sini kita tidak bisa melepaskan betapa pentingnya kehidupan dunia yang fana ini pada ajaran agama. Hanya saja, kehidupan dunia itu bukanlah sebagai tujuan, melainkan sarana. Ketika sarana (kesalehan sosial) untuk mencapai tujuan tersebut rusak, maka tujuannya pun akan rusak pula.

Puasa pada dasarnya tidak akan mampu memberikan manfaat pada diri kita, ketika ia dipahami dengan cara melepaskannya dari dimensi sosial. Jika kita menghayati dimensi ini pada puasa kita, tentu sikap kita yang berlebihan dalam merayakan puasa, akan dipikirkan ulang. Misalnya, mengonsumsi secara berlebihan. Pada akhirnya, tidak akan kita berbuka dengan menu yang berlebihan saat banyak tetangga kita menderita kelaparan. Tidak akan kita membeli pakaian baru secara berlebihan, ketika banyak tetangga kita tidak "berbaju". Tentu saja ada banyak hal yang bisa kita sebutkan di sini, yang perlu kita pertimbangkan kembali atas sikap kita dalam menjalankan ibadah.

Buru-buru perlu saya sebutkan di sini, bahwa agama tidak menekankan kepada diri kita untuk harus selalu "siap siaga" membantu kesulitan orang, paling tidak di sekitar kita (kerabat dan tetangga). Tentu saja, hal itu yang memang diinginkan atau diidealkan oleh agama. Akan tetapi, ketika agama menekankan hal itu tanpa sikap gradual samasekali, sama saja agama menetapkan standar kesalehan sosial yang sangat tinggi sekali. Dan, tidak semua orang mampu melakukan hal tersebut. Kita harus memahami bahwa agama hendak mengajarkan sikap organis dalam kehidupan sosial kita. Dimaksud sikap organis ialah, kita menyadari bahwa kehidupan kita saling berhubungan satu sama lain. Dengan kesadaran seperti ini, minimal kita memunyai sikap keprihatinan sosial dan empati dalam kehidupan kita.

Ikhtisar
Ibadah selalu memunyai dua dimensi: dimensi nonsosial dan dimensi sosial[1]. Puasa, dan ibadah lainnya, pada dimensi nonsosialnya, kita lakukan karena Tuhan dan bukan untuk Tuhan, melainkan untuk diri kita sendiri. Balasan pahala, misalnya. Adapun, dimensi sosialnya, ibadah kita lakukan karena kemanusiaan dan untuk Tuhan, bukan melulu untuk kita sendiri. Pada dimensi ini, ibadah mampu membawa diri kita pada perubahan atau menjadikan kita saleh dalam konteks sosial. Dan, dari dimensi ini pula dimensi nonsosial menjadi bermakna.

Sebagai penutup, saya akan menukil kisah Musa as untuk dapat memahami dimensi sosial itu.

Alkisah, Nabi Musa as bermunajat kepada Tuhan. Sang Maha Suci bertanya, "Hai Musa, banyak sekali ibadahmu, yang mana untuk-Ku?" Musa terkejut mengapa Dia bertanya tentang ibadahnya, sebab semua ibadahnya untuk Tuhan: "Shalatku, hajiku, kurbanku, doa, dan zikirku".
Tuhan berkata: "Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku?" Musa bingung dan berkata: "Tunjukkan pada hamba-Mu yang lemah ini, mana ibadahku untuk-Mu!" Tuhan berkata: "Berkhidmatlah kepada hamba-hamba-Ku!"


Dari kisah ini kita mengetahui bahwa ibadah untuk Tuhan ialah bekhidmat kepada manusia. Ibadah yang kita lakukan tanpa melihat dimensi kemanusiaannya, pada dasarnya untuk kita, bukan untuk Tuhan.

Dalam riwayat lain, pada hadits qudsi, kita dapat menemukan substansi serupa:

Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang memunyai dosa dan kesalahan yang begitu banyak sehingga memenuhi sudut-sudut langit. Tetapi Aku tak hiraukan dosa-dosanya; semuanya Aku ampuni.
Mengapa tidak Kau hiraukan, ya Rabb?
Karena ada satu hal yang mulia yang Aku cintai dalam dirinya. Ia mencintai fakir miskin. Ia bergaul akrab dengan mereka. Ia menyamakan dirinya seperti mereka. Ia tidak sombong. Jika ada hamba-Ku seperti dia, Aku ampuni dia dan Aku tidak hiraukan dosa-dosanya.


Dari sini kita bisa mengerti apa yang dimaksud oleh Nabi Muhammad saw ketika mengatakan bahwa "Betapa banyak yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga". Juga apa yang dimaksud oleh al-Qur'ân dalam Surah al-Ma'un ayat 4-7: maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat; [yaitu] orang-orang yang lalai dalam shalatnya; orang-orang yang berbuat riya [pamer saja]); dan [yang] menghalangi [menolong dengan] barang berguna [bermanfaat].

Dengan demikian, kita bisa membuat tali simpul bahwa, ibadah puasa adalah perkhidmatan pada sesama di bulan Ramadhan. Semoga, kita termasuk ke dalam bagian orang yang menjalankan perkhidmatan pada puasa di bulan Ramadhan ini. Dan semoga, nilai Ramadhan, bulan yang penuh dengan hikmah ini, akan tetap hadir dalam diri kita pada bulan-bulan lainnya.

Wa Allah a'lam

[1] Sebelum saya menggunakan istilah dimensi nonsosial dan dimensi sosial, saya menggunakan dimensi ilahiah dan dimensi kemanusiaan. Akan tetapi, karena secara sepintas lalu terlihat dikotomis, walaupun tidak begitu, dan pada saat sama khawatir dipahami secara dikotomis, maka saya urungkan. Saya juga agak kesulitan untuk memberikan istilah yang saya maksudkan ini. Dalam arti, karena begitu kompleksnya, kadang bahasa itu tidak mampu mewakili apa yang kita maksudkan. Dalam istilah yang saya gunakan ini, tentu saja akan menjadi masalah baru ketika ia dilihat secara dikotomis. Karenanya, istilah yang saya gunakan ini jangan dilihat dengan logika biner. Istilah yang saya gunakan di sini, hanya untuk memberikan kemudahan, paling tidak pembedaan masalah. Akan tetapi, kadang bahasa juga bersifat membatasi kekayaan makna yang sedang kita maksudkan, maka boleh jadi malah menjadi tidak tepat. Kendati demikian, dengan memertimbangkan hal-hal di atas, saya tetap menggunakan istilah ini, sebab jika kita melihat konteks tulisan ini serta melampaui pandangan logika biner, maka istilah tersebut bisa dipahami. Setidaknya begitu harapan saya.
Baca selengkapnyaHiper-Ramadhan (1)
 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner