Teknologi, tidak seperti yang diduga orang, dibangun di atas dasar sains, yang mana di dalam sains mengandung asumsi-asumsi filosofis. Filsafat, terlepas dari perdebatannya, tidak bisa dipungkiri bahwa ia turut menjadi penggerak roda sejarah. Pendapat bahwa “materialitas merupakan penentu kesadaran manusia” bukanlah klaim sains atau empirik, melainkan klaim filosofis. Para filsuf materialistik, walaupun sepintas terlihat empirik dalam klaim-klaimnya, pada dasarnya membangun dasar pemikirannya tidak bersandarkan pada konstelasi pengetahuan empiris, melainkan filosofis. Bahkan, sains pun, walaupun itu sains naturalistik, tidak bisa lepas dari hal atau asumsi filosofis. Induksi, yang menjadi salah metodologi sains, pada kenyataanya tidak mampu menutupi bahwa ia disinari dengan pandangan filosofis.
Dalam induksi, hal-hal partikular yang diketahui, diolah sedemikian rupa untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan universal. Masalahnya, dalam ranah empiris, hal partikular tidak bisa dijadikan begitu saja untuk menjadi dasar konklusi universal. Misalnya, walaupun setiap logam yang dipanaskan akan memuai (partikular), tidak berarti semua anggota himpunannya (logam) akan memuai pula (universal), dalam arti bagaimana hal itu bisa diturunkan ketika syarat utama pengetahuan induktif ialah observasi dan eksperimental. Untuk membuat klaim bahwa semua logam memuai jika dipanaskan mejadi sahih, tentu saja harus melakukan pengujian seluruh logam. Dan hal ini, secara ruang-waktu, tidak mungkin. Tapi, sains harus melakukan hal itu, sebab ia mengklaim dirinya sebagai ilmu yang bersandarkan pada observasi dan eksperimental. Pada kenyataannya sains tidak melakukan hal itu. di sini terlihat ada suatu lompatan premis dan konklusi. Nah, hal ini yang kita sebut sebagai asumsi tersembunyi (hidden assumption). Asumsi, merupakan salah satu karakter filosofis. Itu juga mengapa saya katakan sains pun tidak bisa melepaskan dirinya dari klaim-klaim filsafat. Itu juga kenapa muncullah metode falsifikasi yang dikembangkan oleh Karl R. Popper, untuk melengkapi metode verifikasi. Falsifikasi sesungguhnya menyadari kejanggalan metode verifikasi dalam konteks induktif.
Dalam induksi, hal-hal partikular yang diketahui, diolah sedemikian rupa untuk kemudian ditarik suatu kesimpulan universal. Masalahnya, dalam ranah empiris, hal partikular tidak bisa dijadikan begitu saja untuk menjadi dasar konklusi universal. Misalnya, walaupun setiap logam yang dipanaskan akan memuai (partikular), tidak berarti semua anggota himpunannya (logam) akan memuai pula (universal), dalam arti bagaimana hal itu bisa diturunkan ketika syarat utama pengetahuan induktif ialah observasi dan eksperimental. Untuk membuat klaim bahwa semua logam memuai jika dipanaskan mejadi sahih, tentu saja harus melakukan pengujian seluruh logam. Dan hal ini, secara ruang-waktu, tidak mungkin. Tapi, sains harus melakukan hal itu, sebab ia mengklaim dirinya sebagai ilmu yang bersandarkan pada observasi dan eksperimental. Pada kenyataannya sains tidak melakukan hal itu. di sini terlihat ada suatu lompatan premis dan konklusi. Nah, hal ini yang kita sebut sebagai asumsi tersembunyi (hidden assumption). Asumsi, merupakan salah satu karakter filosofis. Itu juga mengapa saya katakan sains pun tidak bisa melepaskan dirinya dari klaim-klaim filsafat. Itu juga kenapa muncullah metode falsifikasi yang dikembangkan oleh Karl R. Popper, untuk melengkapi metode verifikasi. Falsifikasi sesungguhnya menyadari kejanggalan metode verifikasi dalam konteks induktif.
Ketika kita mengetahui bahwa sains tidak bisa lepas dari asumsi filosofisnya, maka kita bisa menjadi semakin memahami dengan baik soal teknologi, bahwa teknologi tidak seperti yang kita kira, ia mengandung asumsi-asumsi filosofis. Hal ini sangat penting untuk kita ketahui agar kita dapat memahami mengapa dan bagaimana teknologi juga turut menjadi penggerak jalan sejarah kehidupan. Kegagalan melihat dimensi luas dari teknologi, kita tidak akan mampu menjawab implikasi-implikasi teknologi dalam kehidupan kita. Pada saat yang sama, kita bisa melampaui pandangan umum bahwa teknologi itu bebas nilai.
Pertanyaan terbesar kita adalah mengapa teknologi mampu memengaruhi kehidupan kita; pola relasi sosial kita; selera kita; dsb. Jika kesadaran manusia juga bisa ditentukan oleh (perkembangan) teknologi, bagaimana menjelaskannya dalam korelasinya dengan persoalan kehendak bebas. Apakah kehendak bebas manusia itu berarti bahwa manusia tidak bisa samasekali dipengaruhi oleh hal di luar dirinya. Apakah ketika hal di luar diri kita, katakanlah itu teknologi, memengaruhi kita berarti kehendak bebas kita menjadi gugur. Apakah bisa hal yang bebas nilai memengaruhi laju gerak sejarah. Jika, teknologi adalah hal yang bebas nilai, mengapa ia bisa menimbulkan krisis ekologis akut, dehumanisasi, alienasi, dekadensi moral, kepunahan manusia, bahkan planet (teknologi nuklir, misalnya). Dan, titik kulminatifnya, mengapa dan bagaimana pada akhirnya teknologi bisa menjadi pararel dengan kapitalisme.
(bersambung….)
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.