Syahdan, menurut shahibul hikayat terdapat diktum filosofis bahwa “kesadaran manusia ditentukan oleh materi”. Artinya, kesadaran kita, manusia, bahkan entitas berkesadaran yang liyan, besar dipengaruhi oleh keadaan materialitasnya. Materialitas di sini dimaksud dalam pengertiannya yang luas. Katakanlah itu ekonomi atau benda kasat mata yang kita miliki. Dengan demikian, dalam diktum tersebut bahwa, sebagai amsal, kesadaran antara orang kaya dan miskin sangat berbeda. Juga kesadaran orang yang tidak miskin juga tidak kaya akan berbeda dengan kesadaran tipikal dua orang yang disebut sebelumnya. Kalau Anda menemukan rekan kerja yang sangat menjilat atasannya, kemungkinan besar hal tersebut dipengaruhi oleh keadaan ekonominya.
Dipengaruhi di sini bisa dipahami secara tidak tunggal. Bisa saja materi itu memengaruhinya secara langsung, tanpa disadari, bisa juga dipahami secara sadar, bagaimana ia memaknai kepemilikannya.
Seorang teman, semenjak memiliki mobile phone, yang disebut oleh orang Indonesia dengan HP, keluaran terbaru, yang dilengkapi fitur-fitur canggih, dikenal secara populer sebagai smart phone, mendadak memiliki atau memunyai pmebicaraan yang sangat berbeda ketimbang sebelum ia memiliki HP lawas, yang sangat jauh dan tidak bisa dikatagorikan sebagai smart phone. Setiap orang yang dikenalnya memiliki HP yang setipikal, langsung ia menanyakan berbagai hal mengenai hal yang terkait dengannya. Mulai dari themes, 3G, video, setting ini setting itu, dsb. Hal tersebut dilakukannya hampir setiap saat, bahkan menjadi minat utama. Hal ini berbeda sebelum ia mengganti HP lawasnya dengan HP yang sangat smart phone itu. Ia melihat HP sebagai hal yang biasa saja. Cukup untuk menelepon dan menerima serta mengirimkan dan menerima pesan singkat. Kini, hal itu menjadi samasekali lain.
Tentu saja, tidak ada masalah akan hal ini. Yang menjadi perhatian saya ialah bahwa mengapa perhatian dia menjadi sangat berbeda samasekali. Hal ini juga yang akhirnya juga membuat saya kembali mengkaji dan mengembangkan persoalan kesadaran manusia dalam kaitannya dengan materi dan nonmateri. Pada saat sama, saya sedang melakukan penelitian mengenai sains dan filsafat modern, yang bisa dikatakan secara garis besar bertitik tumpu pada persoalan dualisme: kesadaran dan materi. Bagi saya hal tersebut memunyai kesamaan dengan hal yang sedang dialami teman saya.
Mendadak saya teringat pada peristiwa yang saya alami pada Senin lalu, 15 Oktober, ketika saya bersilaturahmi ke banyak teman di Jati Bening, Bekasi. Saya menemui banyak teman lama yang sudah lama tidak berjumpa. Namun demikian, kerinduan tersebut tidak sepenuh berakhir dengan kenangan hebat yang akan membuat saya merindukan sebagian teman lama saya itu, ketika sebagian teman menghabiskan waktu bertemu itu untuk membicarakan motornya.
Sebelumnya, motor baginya merupakan hal biasa, sebuah alat transportasi. Kini, teman saya itu menganggap motor sebagai hal melampaui itu semua. Teman itu selalu disibukkan untuk memikirkan bagaimana memodifikasi motornya menjadi lebih bagus dan cepat. Padahal, secara umum, motornya sudah sangat bagus dan cepat. Tapi, tetap saja dipikirkan bagaimana membuatnya lebih. Dalam pertemuan itu, waktu dihabiskan dengan membicarakan motor. Dan dalam pertemuan itu juga, kesadaran semua orang yang berada dalam pertemuan itu menjadi terdemarkasi.
Saya bisa menuliskan banyak hal yang memunyai pengertian serupa bahwa terdapat kesadaran yang ditentukan oleh materi. Tapi, jika tujuan menuliskan hal-hal itu sekadar untuk membuktikan bahwa kesadaran manusia bisa ditentukan oleh materi, saya pikir kedua contoh tersebut sudah cukup.
Perlu saya sebutkan di sini, saya bukanlah seorang materialis, yang mengatakan bahwa kesadaran manusia sepenuhnya ditentukan oleh materi, juga sebaliknya, bukan seorang idealis, yang mengatakan bahwa kesadaran manusia sepenuhnya ditentukan oleh dimensi nonmaterinya. Katakanlah itu ide atau spiritualitasnya. Dalam kajian saya, yang pada akhirnya membentuk bangunan pemikiran saya, kedua hal tersebut, materialitas dan idealis, benar pada sebagian, salah pada sebagian lain. Dengan demikian, memilih salah satu sebagai hal prinsipalitas dalam kaitannya dengan kesadaran manusia, pada akhirnya malah menjadi atau membawa kita pada keterjebakan ekstremitas. Menafikan aspek nonmateri dalam kesadaran manusia, menjadi ekstrem: materialisme. Pun menafikan aspek materi pada kesadaran manusia, menjadi ekstrem lain: idealisme atau spiritualisme.
Padahal, alam banyak kasus atau contoh kita menemukan bahwa memang ada kesadaran manusia yang sangat ditentukan oleh aspek materinya, sebaliknya juga ada manusia yang kesadarannya sangat ditentukan oleh aspek nonmaterinya, katakanlah itu ide atau ruhaniahnya. Hal-hal tersebut merupakan kasus bersifat general, tidak kasuistik, sehingga tidak bisa diabaikan saja. Masalah HP dan motor yang sudah disebutkan sebeleumnya, tidak hanya kasus teman saya saja. Banyak orang lain yang mengalaminya. Dengan demikian, materialisme dan idealisme gagal menjadi metanarasi (grandnarrative). Materialisme benar bahwa kesadaran manusia turut ditentukan oleh aspek matrianya. Akan tetapi menjadi salah jika seluruh kesadaran manusia ditentukan oleh materi. Sebaliknya, idealisme benar bahwa kesadaran manusia turut ditentukan oleh idenya. Akan tetapi hal itu menjadi salah jika dikatakan bahwaq seluruh kesadaran manusia ditentukan oleh hal itu.
Belum lagi jika diajukan pertanyaan bahwa mengapa kesadaran manusia yang ditentukan oleh materialitas tidaklah seragam. Contoh, banyak orang yang “gara-gara” HP dan motor mendadak berubah, tidaklah sama intensitas perhatiannya. Sebaliknya, banyak orang suci (santo, wali, mistikus, nabi) yang tidak sepenuhnya mengabaikan materi. Ibn ‘Arabi, seorang mistikus par excellence, disebut-sebut memiliki rumah megah. Pun banyak orang suci yang dalam kaitannya dengan materi memunyai intensitas berbeda dalam pergelutannya dengan materi.
Dengan demikian, tidaklah tepat menafikan yang satu untuk memilih yang lain. Pada dasarnya, kegagalan atau kejatuhan pada titik ekstremitas pada persoalan ini, disebabkan pada ketidakmampuan menjelaskan pola relasi antara materi dan nonmateri. Sejarah problematika pemikiran manusia pada persoalan materi dan nonmateri, paling tidak selama hasil penelitian saya sejauh ini, adalah problem pola relasi ini. Kegagalan menjelaskan relasi antara kesadaran dengan materi. []
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.