Etika: Penting Gak Penting (1)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.2010




Hampir tiga tahu lalu, saya pernah menjadi koordinator kelas nonformal bahasa Inggris di Jakarta. Kelas tersebut merupakan ruang yang digalakkan sedemikian rupa untuk meningkatkan kemampuan berbahasa Inggris mahasiswa Seperti yang sudah disepakati bahwa sebagai koordinator, saya diberi kebebasan untuk menentukan tema kelas tersebut. Saya menjatuhkan pilihan untuk menyuguhkan tema etika. Dengan dasar alasan bahwa, pada semester tiga dan empat, terdapat mata kuliah Filsafat Moral dan Etika Islam (baca tulisan saya mengenai Pengantar Etika Islam di sini), juga sebagian besar mahasiswa adalah semester satu dan tiga, dan juga ada ajakan untuk membuka kelas nonformal etika dari beberapa teman yang diampu oleh saya—yang kebetulan juga saya sempat melakukan riset mengenai etika selama satu semester—saya pikir mengangkat tema etika merupakan pilihan yang sangat bagus.


Begitulah, akhirnya kelas tersebut bergulir. Naskah yang dibaca ialah terjemahan bagian pendahuluan dari salah satu makalah etika saya. Sederhana saja, hanya satu halaman, agar tidak terlalu terbebani dalam belajar. Isinya ialah mengenai perbedaan antara etika dan moral serta pengertian moral itu sendiri.

Singkat kata, studi naskah berlalu. Mulailah memasuki diskusi, yang lagi saya diberikan kesempatan untuk memilih tema. Saya memutuskan tema seks bebas. Saya pikir tema tersebut cukup baik untuk mengeksplorasi permasalahan moral yang sudah mereka pelajari pada sesi pertama tadi. Saya membagi peserta menjadi dua kelompok, yang satu adalah proseks bebas, dan satu ialah kontraseks bebas. Saya mengajukan pertanyaan umpan, yang maknanya kira-kira adalah: Bagaimana kalian menjelaskan secara filosofis posisi kalian dalam hal ini? Mengapa suatu hal bisa disebut baik atau buruk?

Berlalulah diskusi dari kedua posisi tersebut. Semuanya memaparkan, akan tetapi tidak menjelaskan, mengapa mereka pro dan kontra terhadap seks bebas.

Ketika memasuki menit akhir dari diskusi—rangkaian terakhir dari kelas—saya dikagetkan oleh peserta, sebut saja fulan, dari kelompok yang kontraseks bebas, yang mengatakan bahwa “Kalian semuanya kafir!”. Tentu saja dengan spontan suara tawa terdengar. Saya pun ikut-ikutan tertawa. Akan tetapi, tentu saja saya memunyai catatan tersendiri akan peserta tersebut.
* * * * *

Terlepas bagaimana tawa itu diinterpretasikan sebagai reaksi sebagian besar peserta ketika kali pertama fulan mengatakan hal yang sangat teologis tersebut. Saya bertanya, mengapa memangnya. Fulan memaparkan bahwa kekafiran tersebut disebabkan penyangkalan akan kandungan kitab suci, dalam hal ini al-Qur’an, yang dengan eksplisit melarang hal tersebut.

Kalimat larangan dalam al-Qur’an secara gramatika disebut fi’il nahi. Jika ada teks yang berpola fi’il nahi itu artinya kalimat larangan. Akan tetapi, setiap fi’il nahi tidak berarti pengharaman, bisa saja itu berarti kemakruhan atau sekadar anjuran (sunnah). Seks, dalam Islam hanya diakomadasi secara sahih dalam bentuk pernikahan. Jadi, di luar bentuk itu tidak dikenal. Dan akomodasi tersebut, dengan mengeksplorasi kandungan al-Qur’an serta konteks dan faktor lainnya, dipastikan fi’il nahi itu diartikan sebagai pengharaman. Dan secara historis pula, tidak ditemukan seorang Muslim pun, secara umum, pun ulama, secara khusus, yang menyangkal status keharaman seks di luar nikah.

Sampai sini tidak menjadi terlalu masalah. Saya masih bisa menerima paparan tersebut. Akan tetapi, yang perlu disesali ialah teks merupakan suatu hal yang bisu. Ia akan berbicara jika disapa. Itu juga kenapa saya bilang bahwa tidak ditemukan penjelasan dalam diskusi tersebut, selain sekadar pemaparan. Pihak yang kontra terhadap seks bebas hanya mengutip al-Qur’an, tanpa pernah menjelaskan mengapa dan bagaimana teks itu bisa pada kesimpulan penolakan. Pada sisi lain, yang sangat penting ialah ketika pesan teks dilepaskan dari konteks ketika teks turun dan dalam konteks kekinian, yang mana pengutip tersebut hidup pada waktu sekarang.

Seks, secara umum, dan seks bebas, secara khusus, tidak hanya persoalan urusan nafsu dan moral belaka. Yang sayangnya sebagian besar umat Muslim menyikapi seks dengan cara-pandang seperti itu. Itu juga kenapa fuqaha (para ahli fikih) mainstream tidak mampu menjawab hal ini dengan jelas, selain hanya bisa mengatakan bahwa haram dan haram. Misalnya, setiap permasalahan mengenai prostitusi, Muslim di sini, juga di tempat lainnya, hanya menanggapi dengan menyatakan pembubaran tempat-tempat prostitusi. Tanpa pernah memerhatikan aspek kultur, ekonomi, politik, dll.

Seks, melihat pada fenomena kekinian, tentu saja tidak bisa direduksi sekadar nafsu. Ia juga memuat berbagai persoalan, sebut saja ekonomi, politik, kultural, image, hasrat, dll. Agaknya inilah yang luput dari perhatian peserta kelas tersebut. Sehingga, dengan mudahnya fulan mengatakan bahwa yang pro adalah kafir.

Mendukung seks bebas tidak berarti menolak ajaran al-Qur’an. Sama halnya ketika pada suatu kesempatan saya mengatakan bahwa melihat kondisi sekarang pelaksanaan haji perlu dipikirkan ulang, bukan berarti saya menolak kewajiban hal tersebut. Yang saya tolak ialah pelaksanaan dan memikirkan ulang alasan-alasan yang melatari pelaksanaan ibadah haji oleh departemen agama. Fulan tidak mampu membedakan mana antara penolakan ajaran dan ketidakmampuan menjalankan ajaran.

Hal seperti fulan sering saya temui, yang dengan mudahnya mengkafirkan orang yang berbeda pandangan. Saya sudah cukup puas untuk dianggap “sesat” oleh sebagian kenalan saya, mungkin juga pembaca tulisan saya. Berhubung ketika saya hanya memoderatori, tentu saja saya tidak mengeluarkan pernyataan untuk menyikapi fulan. Saya hanya “meminta” fulan, juga yang lain, untuk menjelaskan, tidak hanya memaparkan, argumen mereka.

Pada kelas itu, baik yang pro dan kontra, tidak mampu menjelaskan persoalan dengan tinjauan etika (filsafat moral). Pihak pro hanya sekadar bilang bahwa seks adalah hal yang secara alamiah disuka banyak orang. Yang kontra banyak mengutip ayat al-Qur’an, tanpa pernah melihatnya secara empirik. Singkat kata, diskusi berjalan tidak sehat. Tentu saja, saya mawas diri, bahwa kelas hanya menekankan persoalan kemampuan berbahasa, bukan isi materi. Jadi, saya benar-benar tidak bisa berbuat banyak, hanya mendengar bagaimana mereka saling berdebat tak karuan.
* * * * *

Jika kita membicarakan etika, itu tidak berarti kita sedang menjadi seorang moralis, melainkan bagaimana kita memertanggungjawabkan putusan (justification) moral kita. Pembedaannya, secara mudah, ialah, jika moral adalah suatu sikap afirmatif tindakan moral, maka etika ialah pengujian tindakan moral tersebut. Sebagai sebuah sistem pemikiran pengujian moralitas, tentu saja dalam etika segala hal moralitas diperiksa sedemikian rupa.

Berkaitan dengan seks bebas pada kelas itu, pihak pro tidak mendasarkan pandangan-dunianya dengan sinaran agama. Sebaliknya, pihak kontra mendasarinya dengan agama, dalam hal ini Islam. Paling tidak di sini, terdapat dua sumber berbeda dalam menyikapi suatu hal. Ketika terdapat dua perbedaan sumber dalam putusan moral, maka sudah tentu kemungkinan perbedaan putusan moral tak bisa dihindarkan. Pihak yang kontra tidak bisa, seperti yang dilontarkan oleh fulan, mengatakan bahwa orang pro sebagai kafir, sebab sama saja menafikan kandungan kitab suci. Hal ini disebabkan karena pihak kontra tidak mendasarkan pandangan moralnya berdasarkan teks kitab suci. Untuk mendebat pihak pro, pihak kontra harus menggunakan dasar yang dipakai oleh pihak pro, katakanlah itu pada rasio. Maka, bagaimana pihak kontra menjawab pernyataan pihak pro menggunakan dasar rasio. Sebaliknya, pihak pro tidak bisa mendebat pihak kontra yang menggunakan teks tanpa landasan rasionalitas, dengan dasar rasionalitas melulu. Harus ada kesepakatan dasar awal dari kedua belah pihak jika hendak berdiskusi untuk mendapatkan jawaban yang memadai kedua belah pihak. Nah, persoalan ini hanya bisa dijawab oleh etika, yang sayangnya hal itu tidak ditemukan pada kelas tersebut.

Saya, langsung kaget, ketika banyak sekali ayat al-Qur’an dijadikan untuk menghakimi pihak pro. Seolah-olah ayat al-Qur’an adalah suatu “pentungan” untuk memukul seseorang. Mereka lupa, bahwa ayat yang mereka kutip tidak bisa dilepaskan dari penafsiran dan pandangan-dunia mereka. Dan, sepanjang saya menghadiri ruang-ruang diskusi mengenai Islamic studies dan di luar itu, banyak sekali saya menemukan orang dengan mudahnya menggunakan ayat al-Qur’an untuk menyerang moralitas seseorang, bahkan tidak sedikit disisipkan pandangan teologis, hingga dengan mudah kata-kata murtad, kafir, dan sesat mencuat di ruang diskusi tersebut. Kalau sudah seperti itu, saya hanya mampu menarik nafas dalam-dalam dan mengurut dada. Ternyata, pada Ramadhan ini saya menemukan hal itu kembali, yang sayangnya terlontar dari seseorang yang juga mendalami agama. Telah dilupakan bahwa Nabi Muhammad pernah mengatakan yang bermakna “Janganlah mengkafiri seseorang yang memercayai Laa ila ha ila l-Lah wa Muhammad al-Rasul Allah.”

Dengan kejadian tersebut, saya semakin mendapatkan instance bahwa moral tidak cukup untuk sekadar dijalankan sedemikian, melainkan sangat perlu moral untuk dikaji dan diperiksa sedemikian serta dipertanggungjawabkan. Etika sangat besar sekali peranannya untuk membantu persoalan moralitas dalam kehidupan manusia yang melingkupi banyak hal. Pada sisi lain, dalam kehidupan sosial banyak sekali ditemukan perbedaan putusan moral—yang tidak sedikit turut menyumbangkan konflik antarpihak—yang mau tidak mau harus dicarikan jawabannya. Jika kita menerima tesis para antropolog budaya bahwa moral itu bersifat relatif, tentu saja etika sangat dibutuhkan. Sebab dalam etika, kita tidak hanya memeriksa segala putusan moral kita secara mendalam dan kritis, melainkan juga bagaimana membangun dialog moral dari berbagai sistem moral yang ada.

Bahkan, jika kita pernah mendengar suatu pernyataan “persetan dengan moral” atau “saya tidak percaya moral”, dalam etika kita bisa mengetahui bahwa sejatinya yang dipersetankan dan ditolak bukanlah moral itu sendiri, melainkan konsep atas moral yang ada. Manusia tidak bisa melepaskan diri dari persoalan moral, selama manusia masih memercayai bahwa ada hal yang harus dilakukan dan ada yang tidak boleh dilakukan oleh manusia. Pun untuk orang yang mengartikan kebebasan dengan sekacau-kacaunya, tetap saja ia tidak bisa menghindar dari hal itu. Misalnya, ia tidak ingin dilukai oleh orang lain. Nah, keinginan itu juga merupakan suatu persoalan moral.

‘Ala kulli hal, etika bukanlah moral itu sendiri, melainkan bagaimana kita memeriksa sistem moral yang ada secara mendalam dan kritis. Semoga, fulan merupakan hal terakhir yang kita temukan dalam hidup kita. Semoga, dengan memelajari etika, tidak ada lagi pengkafiran disebabkan perbedaan moralitas. Amiin.

Wa Allah a’lam.


Artikel Terkait:

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner