Bencana Alam atau Bencana Sosial?

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.06.2010

May God us keep
From single vision and Newton’s sleep
—William Blake, penyair Inggris

Bekakangan, wilayah yang disebut sebagai Indonesia mengalami banyak musibah. Sebut saja, tsunami, gempa bumi, longsor, gunung meletus, naiknya air pasang di pesisir laut Jawa, banjir, kecelakaan transportasi, dll. Sejenak melayangkan pandangan ke tempat lain, hal serupa juga bisa ditemukan. Sebut saja tsunami yang hanya tidak terjadi di Indonesia, melainkan di tempat lain.


Jamak diketahui bahwa hal tersebut dianggap sebagai sebuah fenomena alam. Dengan kata lain, manusia samasekali tidak berperan dalam mewujudkan fenomena tersebut. Sampai sini, pada titik lain, kita bisa melihat gejala fatalistik (predestine) di dalamnya. Pada titik lain, hilangnya kesadaran akan peran atau keterlibatan manusia dalam jaringan atau kehidupan organis. Mengingat bahwa manusia selama ini memandang realitas di luar dirinya sebagai objek belaka yang tidak berkesadaran dan tanmakna, maka perlu untuk memertanyakan atas fenomena tersebut. Benarkah, semua fenomena alam itu samasekali lepas dari campur tangan manusia?

Warisan Renaisans
Semenjak Rene Descartes memisahkan antara tubuh dengan jiwa, pandangan dualisme menjadi hal yang diterima secara umum. Dimaksud dualisme ialah, keterpisahan antara tubuh dan jiwa, kesadaran dan materi. Pada akhirnya, hal tersebut dianggap, secara sederhananya, realitas di luar diri manusia akan tersingkap begitu saja, tanpa dipengaruhi sang pengamat. Implikasi dari pemahaman ini ialah, melihat alam sebagai realitas yang putus dari kesadaran manusia. Dan, pada akhirnya, menganggap segala hal nonkesadaran sebagai mesin. Maka, alam atau semesta, bahkan tubuh, dianggap sebagai mesin. Yang bekerja dengan pola mekanistik.

Selama ini sains melihat segala entitas kering dari kesadaran. Segala suatu diukur dengan kuantitas. Dimensi kualitas dari suatu entitas, dihilangkan. Fisika melihat dunia fisik sebagai fisik belaka, mengabaikan aspek teleologis dan metafisiknya. Prinsip kausalitas yang pada dasarnya merupakan prinsip filosofis, direduksi menjadi peristiwa empirik belaka. Tidak cukup dengan hal itu, model kausalitas pun, yang sebelumnya memunyai empat kausalitas, yakni sebab internal (sebab formal dan material) dan sebab eksternal (sebab efisien dan final), direduksi menjadi sebab internal saja. Sains hanya menerima sebab internal saja dalam memahami realitas. Alam adalah buta, ia tidak memunyai tujuan. Semua peristiwa terjadi secara keserbabetulan. Biologi mereduksi segala entitas biologis hanya sekadar kumpulan sel tak berkesadaran dan bermakna. Psikologi melihat manusia hanya sekadar objek tankehendak (behaviorism), ilmu jiwa tanpa psyche. Ilmu humaniora melihat manusia secara reduksionistik (positivistik). Pada akhirnya, segala sesuatu harus bisa diukur dan diobservasi.

Itu juga kenapa ada adagium dalam sains, yakni pengetahuan adalah untuk menguasai. Dengan demikian, mengetahui sesuatu adalah untuk menguasainya. Memelajari alam untuk menguasainya. Sehingga alam yang berkesadaran direduksi habis-habisan. Memelajari manusia untuk menguasainya. Hal ini merupakan salah satu karakter dunia modern. Sampai sini, usah heran ketika dewasa ini kita dihadapkan problem pemanasan global (global warming) yang sangat fenomenal itu. Usah heran, manusia menguasai manusia lainnya atas nama sebuah kemajuan zaman.
Pada sisi lain, pemisahan antara kesadaran dengan materi, menyebabkan pandangan-dunia bersifat subjektivistik-antroposentristik. Dimaksud subjektivistik-antroposentristik ialah bahwa manusia merupakan pusat dunia. Segala hal diukur dari sang subjek, manusia, tanpa melihat kaitan diluar dirinya. Objek dilepaskan dari kesadarannya. Subjektivistik-antroposentristik ialah di mana manusia melepaskan dirinya dari jejaring kehidupan organisnya. Kesadaran subjektivisme inilah yang menjadi akartunjang manusia modern dalam memahami segala realitas.

Bencana Alam?
Bencana yang belakangan sering terjadi, dan seiring pandangan-dunia manusia yang dualistik-mekanistik-atomistik-reduksionistik-instrumentalistik-antroposentristik-linear atau Cartesian-Newtonian, maka kita harus memertanyakan kembali atas konsepsi kita mengenai bencana yang kita sebut sebagai bencana alam. Jika banjir yang terjadi disebabkan atas mampatnya saluran air atas sampah, muka air laut naik disebabkan pemanasan global, muka tanah menurun karena beban bangunan beton, hilangnya daerah rembes-air karena habis diplester semen, tergusurnya situ untuk didirikan pusat perbelanjaan, tentu hal ini bukan melulu kehendak alam, melainkan akibat ulah manusia. Benar, fenomena alam turut berperan dalam banjir. Perubahan laju iklim cuaca, misalnya. Akan tetapi, hal tersebut tidak mesti menyebabkan banjir, jika ranah-ranah yang semestinya mampu menyerap air tidak hilang. Pertanyaan kita ialah, ulah siapakah atas hilangnya ranah-ranah tersebut?

Kita harus bisa membuat suatu klasifikasi atas bencana yang terjadi–untuk melihat lebih jernih. Dimaksud klasifikasi ialah, seberapa besar prosentase antara ulah manusia dengan alam dari suatu peristiwa. Jika, prosentase terbesar disebabkan dari manusia, tentu fenomena alam yang ada terjadi dipengaruhi oleh suatu hal di luar dirinya. Siapakah hal di luar dirinya itu?

Begitu juga dengan fenomena alam lainnya. Kita harus menghancurkan pola pandangan-dunia selama ini. Apakah aktivitas alam samasekali lepas dari aktivitas kita? Benar, bencana alam akan tetap ada. Sebab, alam memunyai sistem organik tersendiri. Akan tetapi, bencana alam tersebut baru benar-benar bisa kita katakan sebagai bencana alam, jika hal tersebut terjadi lepas dari peran kita.

Visioner integralistik
Dalam dunia sains, salah satu ranah yang turut memberikan kontribusi pada dunia, hingga berjalan seperti sekarang, pun telah terjadi kesadaran baru dalam melihat alam semesta. Paradigma fisika klasik, misalnya, fondasi ontologi-epistemologisnya sedang diguncang habis-habisan oleh fisika-baru (new physics). Sebut saja Interpretasi Kopenhagen–yang mengembangkan teori kuantum, teori “ketidakpastian” Heisenberg–, teori chaos, the expanding universe, fisika bootstrap, dissipative structure, dll. Banyak fisikawan yang memadukan pandangan metafisik atau kearifan Timur dalam teori fisikanya. Sebut saja Fritchof Capra, yang mengembangkan fisika dengan sinaran ajaran Tao, Ian G. Barbour dan John F. Haught, yang memadukan fisika dengan teologi. Begitu juga dengan ranah psikologi, muncul berbagai aliran, seperti transpersonal dan humanistik, psikologi sufistik; yang mengkaji manusia bukan sebagai makhluk sakit, melainkan sehat dan berkesadaran serta bermakna. Berbeda dengan aliran Freudian dan behavioristik. Yang disebut pertama melihat perilaku manusia melulu dipengaruhi alam bawahsadar dan sakit. Sedangkan yang terakhir melihat manusia murni tanpa kehendak.

Sudah seharusnya kita membangun kesadaran baru atau pandangan-dunia (worldview, weltanschauung) baru, yang melihat segala sesuatu di semesta ini saling berhubungan atau organis, dan berkesadaran serta bermakna. Kita bisa mulai hal tersebut dengan cara memerlakukan segala hal di luar kita tidak samasekali lepas dari diri kita. Misalnya, lingkungan. Dengan melihat lingkungan sebagai berkesadaran, maka kita mampu turut memerhatikan perlakuan kita terhadapnya. Juga dapat membaca kesalinghubungan satu sama lain.

Benarkah semua musibah yang terjadi selama ini merupakan bencana alam?

Wa Allah ‘alam bi al-shawab.


Artikel Terkait:

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner