Sebelum membahas etika atau filsafat moral, tidak boleh tidak moral harus diperbincangkan terlebih dahulu. Secara etimologis moral berasal dari kata Latin moralis yang berarti kebiasaan, adat-istiadat, perilaku, tata cara. Moral sering disamakan dengan kata Yunani ethos. Dalam pengertian umum moral diartikan sebagai baik atau buruk suatu tindakan. Dan perbuatan tersebut hanya dialamatkan pada manusia. Hampir bisa dipastikan buku atau ensiklopedi mengartikan moral tidak jauh mengaitkan dengan baik atau buruk suatu perbuatan dan karakter manusia, paling tidak sedikitnya mengandung pengertian tersebut.
Paul Newall (2005) mengatakan “In simple terms, morality is the right or wrong (or otherwise) of an action, a way of life or a decision….” Sedangkan James Rachel mengartikan moral sebagai, “Morality is, at the very least, the effort to guide one’s conduct by reason—that is, to do what the are the best reasons for doing—while giving equal weight to the interest of each individual who will be affected by one’s conduct.”
Blackwell Dictionary of Western Philosophy mengartikan sebagai,
“Being moral concerns human actions that can be evaluated as good or bad and right or wrong. These actions are in our power and we can be held rensponsible for them. If a persons actions conform to rules of what is morallity right, he said to be moral. If he violates them, he is immoral or morally wrong. Amoral action is also opposed to an moral action, which is morally value-free, that is, neither right nor wrong (Bunnin & Yu, 2004: 443).”
A.R. Lacey (1996) mengartikan,
“Concerning habits, customs, ways of life, especially when these are assested as good or bad, right or wrong. Ethymologiclly the latin “moral” corresponds to the greek “ethical”. They both mean “concerning habits, etc”. ‘Ethical’ and ‘unethical’ tend often to be used of considerable behaviour directed at interests other than those of the agent, at any rate where the agent is an individual person.”
Dari pemaparan tersebut bisa kita tarik kesimpulan bahwa moral berkaitan dengan suatu tindakan, perilaku, kebiasaan yang bisa diatributkan dengan nilai baik atau buruk, salah atau benar. Moral juga selalu berkaitan dengan manusia pada aspek totalitasnya, bukan pada aspek parsialnya. Dalam perkataan lain, moral berkaitan dengan kemanusiaan manusia itu sendiri. Dengan demikian, ada suatu tindakan yang tidak bisa kita atributkan dengan nilai baik atau buruk, salah atau benar. Hal tersebut tidak bisa dianggap sebagai moral, melainkan amoral. Dan ada perbedaan antara amoral dengan immoral. Amoral diartikan sebagai perbuatan yang tidak mengandung nilai moral, sedangkan immoral diartikan sebagai perbuatan yang menentang moral.
Sedangkan etika, kadang dipertukarkan dengan kata filsafat moral, merupakan suatu upaya atau telaah kritis atas segala justifikasi moral. Ketika seseorang mengatakan bahwa membunuh adalah perbuatan buruk secara moral. Afirmasi tersebut menyimpan banyak hal yang perlu dipertanyakan. Bagaimana seseorang bisa mengetahui perbuatan itu salah dan benar? Bagaimana keputusan salah dan benar bisa diambil? Apakah baik untuk seseorang harus diartikan baik juga untuk orang lain? Etika hendak menjawab atau menelaah segala pertanyaan atau dasar-dasar yang melandasi hakikat moralitas. Melalui etika, persoalan moral tidak diterima begitu saja, melainkan diteliti sedemikian rupa. Etika lebih sebagai disiplin.
“That study or discipline which concerns itself with judgements of approval and disapproval, judgments as to the rightness or wrongness, goodness or badness, virtue or vice, desirability or wisdom of actions, dispositions, ends, objects, or states of affairs (Meta-Encyclopedia of Philosophy, 2007).”
Yang perlu digarisbawahi di sini ialah, membicarakan etika, pertama kali kita harus memulai dari epistemologi moral. Tanpa itu, kita akan gagal untuk memahami perbedaan-perbedaan dalam ranah etika. Pada sisi lain, perbedaan tersebut yang pada akhirnya membuat etika, sebagai suatu sistem pemikiran moral, disandangkan dengan kata sifat. Islam, Kristen, Buddha, Hindu, pragmatisme, utilitarianisme, absolutisme, dsb., misalnya. Kata sifat yang dilekatkan kepada etika, sejatinya ditentukan oleh, setidaknya berpijak pada persoalan, epistemologi sistem moral dari etika.
Etika dikatakan sebagai etika Kristen, lebih karena epistemologi moralnya disinari oleh Bible atau tradisi Gereja. Begitu juga dengan sistem pemikiran moral lainnya, termasuk Islam.
Etika Islam disebut sebagai etika Islam, lebih disebabkan atas dasar epistemologi moral itu sendiri. Landasan epistemologi moral Islam disandarkan pada al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad saaw. Dari kedua sumber tersebut, diturunkan prinsip-prinsip, sumber-sumber, semangat, putusan-putusan moral.
Kita bisa mengambil suatu contoh untuk memerjelas persoalan ini. Sebut saja persoalan poligami. Dalam tradisi etika Kristen, poligami ditolak, sebab dari Bible atau tradisi Gereja ditemukan afirmasi untuk menegasikan hal tersebut. Untuk pragmatisme, poligami bisa diterima atau ditolak secara moral ditentukan apakah poligami memberikan manfaat kepada orang. Begitu juga dengan kalangan utilitarianisme, poligami buruk atau buruk secara moral ditentukan apakah hal tersebut memunyai kegunaan yang memberikan kebahagiaan terbanyak dalam kehidupan (calculus of happyness, principle of utility). Pun Islam, poligami secara mendasar diterima sebab dalam kedua sumber normativitas Islam hal tersebut diperbolehkan. Akan tetapi, poligami pun bisa saja tertolak jika terdapat hal-hal yang membatalkannya. Kendati demikian, untuk menentukan apa saja hal yang dapat membatalkan poligami, diturunkan dari kedua sumber tersebut.
Sampai sini, kita bisa membuat suatu tali simpul bahwa perbedaan dalam menentukan suatu tindakan ditentukan oleh pandangan-dunia (worldview, weltanschauung) yang diambil. Tentu saja, pandangan-dunia tidak melulu hadir begitu saja. Kadang ia ditentukan oleh faktor lain. Situasi atau akibat, misalnya. Apa pun itu, etika disebut sebagai etika Islam, etika Kristen, pragmatisme, utilitarianisme, dll., ditentukan oleh pandangan-dunia yang menjadi fondasinya. Dan hal tersebut berarti ialah persoalan epistemologi moral.
Adapun apakah etika Islam memunyai ciri khas berbeda dengan etika lain. Jawabannya, bisa iya, dan juga bisa tidak.
Kita katakan iya, terdapat ciri khas etika Islam yang membedakan dengan etika lain, ketika etika Islam, sebagai etika yang bersifat “sakral”[i], dibandingankan dengan etika lain, yang bersifat “profan”[ii]. Etika Islam dalam membicarakan moralitas, tidak hanya berkaitan dengan soal buruk dan baik dalam konteks dunia, melainkan juga dalam konteks akhirat. Etika Islam juga bisa dikatakan sebagai suatu jalan untuk mencapai Tuhan, tidak hanya berurusan manusia melulu. Etika juga memberikan titik penekanan terhadap persoalan karakter manusia, yang lebih bersifat nonlahiriah, katakanlah ruhani kalau mau. Hal yang sudah disebutkan tentu saja tidak bisa ditemukan dalam etika profan. Dalam etika profan, moralitas lebih dilihat dari aspek ke-di-sini-an, persoalan bagaimana hidup di dunia bisa baik, bagaimana persoalan kebaikan lahiriah bisa direngkuh, dsb. Secara sederhana, etika Islam memunyai dimensi luas, ia meliputi dimensi lahiriah maupun batiniah. Sedangkan etika profan, lebih pada persoalan lahiriah.
Akan tetapi, hal-hal tersebut juga tidak hanya dimiliki oleh etika Islam semata, jika ia kita hadapkan dengan etika Hindu, Buddha, Yahudi, Tao, dan Kristen, misalnya. Etika yang sudah disebut itu pun juga memunyai dimensi yang meliputi sisi lahiriah maupun batiniah. Itu juga kenapa kita katakan bahwa etika Islam, pada titik tertentu, tidak memunyai ciri khas yang membedakan dengan etika lainnya.
Betapa pun, etika Islam bisa kita artikan sebagai sistem pemikiran yang mengarahkan manusia untuk meningkatkan karakter perilaku kemanusiaannya, baik itu secara lahiriah maupun batiniah, di bawah sinaran al-Qur’an dan Sunnah maupun tradisi hikmah dan/ kearifan lain yang tidak bertentangan dengan Islam. Kemeningkatan karakter lahiriahnya, menjadikan pribadi Muslim berguna atau memberikan manfaat dalam kehidupan dunia. Dengan kata lain hal tersebut menjadikannya sebagai cerminan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan dunia. Ada pun sisi batiniahnya, karakter tersebut menjadikan pribadi Muslim semakin jauh meninggalkan segala nafsu dimensi badaniahnya, yang pada akhirnya membuatnya dicintai oleh Tuhan.
Disebutkan bahwa sifat-sifat Allah atau asma Allah dijadikan sebagai dasar etika Islam. Bagaimana menurut Anda?
Sebagai sistem pemikiran moral yang juga memunyai basis ontologis transendental, etika Islam, secara epistemologis dan aksiologis, dalam mengarahkan manusia untuk membentuk perilaku serta karakter moralnya, mengusahakan sedemikian rupa untuk menyelaraskan sifat-sifat Tuhan dalam kehidupan manusia. Apakah hal tersebut bersifat a priori atau aposteriori, terlebih dahulu harus membicarakan bagaimana Tuhan itu dikonsepsikan.
Perlu digarisbawahi, konsepsi akan Tuhan di sini mengandaikan keterselesaian (clearness) akan status ontologis Tuhan. Jadi yang dimaksud dengan konsepsi Tuhan, harus dipahami sebagai upaya tindak lanjut atau bagaimana konsekuensi setelah tuhan itu diketahui. Karena Tuhan tidak berbicara dengan manusia di bumi secara langsung, melainkan dengan wahyu, maka konsepsi akan Tuhan itu sendiri didasarkan atas pemahaman wahyu dan ajaran Nabi, serta pengetahuan langsung (knowledge by presence, ‘ilm al-laduni) yang diberikan Tuhan kepada orang tertentu.
Allah dikonsepsikan memunyai sifat. Sifat-sifat-Nya dipahami ada yang bersifat dzatiyah dan nondzatiyah. Dzatiyah dimaksud adalah sifat Tuhan yang tidak bisa diketahui oleh manusia. Hal ini bisa dimengerti sebab Tuhan ialah tak terbatas, sedangkan manusia terbatas. Akan tetapi, bukan berarti hal tersebut tidak bisa dirasakan “getarannya”. Ada perbedaan antara mengetahui dengan merasakan (experential). Hal yang terbatas tidak mampu mengukur hal yang tak terbatas. Adapun sifat nondzatiyah dimaksud ialah sifat Tuhan yang bisa diketahui oleh manusia. Seperti sifat-sifat af’aliyah, yang di antaranya tercerminkan melalui asma’ al-husna. Asma’ al-husna tersebut ada yang bersifat jalaliyah (tremendum, maskulin, kegentaran) dan jamaliyah (fascinant, feminin, keindahan atau kelembutan). Etika Islam mengarahkan seseorang untuk mengejar sifat af’aliyah-Nya yang bersifat jamaliyah.
Etika Islam berkutat pada ranah insan manusia, bukan basyarnya. Itu juga kenapa sifat jalaliyah Tuhan tidak bisa dicapai oleh manusia, sebab hal tersebut secara prerogatif milik Tuhan semata.
Sifat jalaliyah Tuhan secara garis besar bersifat kegentaran atau kemahakuasaan. Seperti al-Mutakabbir. Al-Mutakabbir merupakan sifat yang hanya bisa disandangkan kepada yang Mahakuasa, yaitu Tuhan. Jika hal tersebut disandangkan kepada mansia, maka hal tersebut merupakan contradiction in term. Sebab al-Mutakabbir mengandaikan ketakterbatasan, sedangkan manusia pada hakikatnya adalah terbatas. Adapun sifat jamaliyah Tuhan secara garis besar bersifat keindahan atau kelembutan. Seperti yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sifat-sifat seperti inilah yang bisa dicapai dalam etika Islam.
Dengan demikian, asma’ al-husna yang bisa dijadikan dasar etika ialah sifat jamaliyah-Nya.
Terkait apakah upaya mengejar sifat Tuhan untuk dijadikan landasan moral merupakan hal a priori atau aposteriori, jawabannya ialah a priori. Dalam diri manusia terdapat intuisi yang dapat mengetahui mana hal baik dan mana hal buruk. Hal tersebut merupakan hal yang fithrah dalam diri manusia. Begitu pun soal ketuhanan. Ketika seseorang beriman kepada Tuhan, tentu saja kebertuhanannya menjadikan seseorang tersebut berupaya untuk menerjemahkan keimanan dalam segala perilakunya.
Manusia memiliki kehendak bebas, sehingga ia bisa melakukan apa saja yang ia inginkan. Namun pada kenyataannya manusia memilih untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya baik dan terpuji serta menghindari hal-hal yang diyakininya buruk dan tercela. Dasar apa yang mendorongnya seperti itu?
Manusia dalam melakukan sesuatu didasarkan dua hal. Pertama, daya “mendekati” (al-quwwah al-syahwatiyah, faculty of pleassure), dan kedua, daya “menghindari” (al-quwwah al-ghadhabiyah, faculty of avoid). Daya pertama membuat manusia akan mendekati sesuatu hal yang disenanginya. Dengan kata lain, manusia akan menghampiri atau meraih segala hal yang memberikan kesenangan pada dirinya. Misalkan, pemandangan indah. Daya kedua, membuat manusia menghindari atau menolak akan sesuatu yang dapat memberikan ketidaksenangan pada dirinya. Misal, manusia selalu akan menghindari sedemikian rupa hal yang membuat dia terluka. Perlu disebutkan di sini, bahwa kedua fakultas tersebut bukan merupakan determinan tindakan manusia, melainkan lebih pada semacam alat atau kemampuan.
Fakultas yang disebutkan tersebut, tidak berarti berkemampuan sebagai penjustifikasi tindakan. Dimaksud adalah ketika manusia menyenangi suatu hal, bukan berarti hal tersebut baik begitu saja, melainkan hal tersebut memang merupakan hal yang disenangi oleh manusia. Begitu juga ketika manusia menghindari sesuatu bukan berarti suatu tersebut buruk secara moral, melainkan manusia secara intrinsik tidak menyukainya. Fakultas tersebut memang berdekatan dengan, atau bisa dipahami sebagai, insting. Akan tetapi, insting mengandaikan akan hilangnya kebebasan dan kehendak. Sedangkan moral mengandaikan akan adanya kebebasan dan kehendak dalam tindakan manusia. Tanpa adanya kebebasan dan kehendak dalam tindakan manusia, maka moral akan tertolak dengan sendirinya.
Kendati demikian, pada titik tertentu manusia mampu mengetahui bahwa suatu perilaku adalah baik atau buruk maupun terpuji atau tercela. Bagaimana hal tersebut bisa diketahui oleh manusia? Dengan fakultas apa manusia bisa mengetahui hal tersebut?
Ketika kita tidak mampu menyangkal bahwa manusia mampu melakukan apa saja. Namun demikian, manusia pada saat sama, pada titik tertentu, mengetahui ada perbuatan yang diketahuinya dengan cara langsung sebagai perbuatan baik atau buruk maupun terpuji atau tercela. Hal tersebut membuat manusia tidak dengan begitu saja melakukan segala hal yang ia kehendaki atau inginkan. Konsekuensinya, ada hal yang menyebabkan hal tersebut. Karena, tidak mungkin ketiadaan sesuatu bisa mengetahui suatu hal yang ada.
Dalam diri manusia terdapat fakultas yang disebut sebagai hati nurani. Perlu disinggung, pengetahuan manusia terderivasi ke dalam dua bentuk: 1) pengetahuan secara langsung (‘ilm al-hudhuri, knowledge by presence); dan 2) pengetahuan dengan representasi/santiran (‘ilm al-hushuli, knowledge by acquired/representational). Bentuk pengetahuan kedua mengandalkan akal, sebab sifatnya yang tidak langsung atau menggunakan konsep, representasi, atau capaian. Sedangkan pengetahuan pertama bersifat langsung. Objek pengetahuan hadir dalam diri, hingga subjek dan objek menjadi identik. Pengetahuan jenis ini menggunakan fakultas hati (qalb, fu’ad). Berbeda dengan akal yang bersifat meruang (spatilized), sehingga akal dalam mengetahui sesuatu tidak bersifat langsung.
Hati nurani bisa dikategorikan sebagai fakultas pengetahuan yang mengenal objek pengetahuan secara langsung. Jika manusia samasekali belum tahu apakah secara etika suatu tindakan dianggap buruk atau baik. Akan tetapi, seseorang tersebut merasa bahwa tindakan tersebut adalah buruk. Ketahuan manusia akan hal tersebut ialah bersifat langsung, tanpa didahului konsep. Bahwa pengetahuan langsung mengandaikan ketertunggalan subjek dan objek, maka manusia mengetahui salahsatu sisi kemanusiaannya (objek) yang diketahui oleh sisi kemanusiaannya (subjek).
Hati nurani mengandung makna esensi manusia yang amat penting, yaitu esensi kebaikan. Hal itu disebabkan adanya sesuatu dalam diri manusia yang bersifat “cahaya” (nurani), yang menerangi jalan ke arah kebenaran. Hal tersebut juga bisa dipahami sebagai fithrah. Dimaksud fithrah ialah semacam kemampuan bawaan (innate) dan intuisi untuk mengetahui benar-salah, baik-buruk, dan sejati-palsu.
Moralitas berarti bicara sisi manusiawi manusia. Manusiawi dimaksud adalah hal yang terkait dengan substansi manusia: hal yang membuat manusia bisa disebut sebagai manusia atau sebaliknya. Karena hati nurani adalah fithrah, dan fithrah adalah salahsatu substansi manusia. Maka, pengetahuan manusia akan suatu hal yang dicapai oleh hati nurani, itu berarti hal yang diketahuinya bersifat substansial. Jika seseorang tidak mau mencuri suatu barang milik orang lain yang sangat ia gemari, walaupun ia memunyai kebebasan serta keadaan yang mendukung untuk melakukan hal tersebut. Tetapi, dari dalam dirinya ada suatu hal yang menghalanginya, membuat dirinya menganggap perbuatan mencuri tersebut adalah hal yang salah. Maka bisa dipastikan bahwa hal tersebut merupakan tindakan buruk secara moral. Tidak boleh diabaikan bahwa pengetahuan secara langsung mengandaikan akan ketertunggalan subjek-objek. Subjek di sini ialah hal yang membuat manusia merasakan degradasi atas kemanusiaannya, maka objeknya pun ialah hal yang dapat membuat gradasi kemanusiaan manusia menjadi menurun atau jatuh. Setiap hal yang menyebabkan manusia bisa kehilangan status kemanusiaannya, itu adalah persoalan moralitas, dan hal itu buruk secara moral.
Wa Allah a’lam.
[i] Sakral di sini dimaksud lebih sebagai praanggapan bahwa kehidupan selalu terkait dengan Tuhan. Dengan kata lain, sakral ialah melihat dunia ini tidak mengalami keterputusan (ruptures) dengan yang Ilahiah.
[ii] Profan di sini dimaksud lebih sebagai praanggapan bahwa kehidupan tidak terkait dengan Tuhan. Dengan kata lain, profan ialah melihat dunia ini mengalami keterputusan (ruptures) dengan yang Ilahiah.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.