Belajar Filsafat dari Pengamen

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.03.2010

—buat sahabat-sahabat yang pernah bersamaku mengamen di Jakarta, Cirebon dan Semarang.

I.
Pengamen di dalam angkutan umum, dalam hal ini bus, di ibu kota Indonesia merupakan hal yang tidak asing. Ketika menaiki bus, kecuali, Transjakarta—yang memunyai jalur khusus (busway)—kita bakal bertemu dengan pengamen, yang mana merupakan hal yang kadang memang tidak bisa dielakkan. Hampir bisa dipastikan bus yang kita tumpangi (akan/sudah) terdapat pengamen didalamnya. Tentu, fenomena pengamen bisa dilihat dengan berbagai sudut, multidisipliner dan multidimensi. Katakanlah dari sisi sosiologis dan ekonomi, misalnya. Akan tetapi, saya bakal menulis pengalaman saya soal pengamen yang enam jam lalu saya temui di dalam bus, bertumpu pada sudut filosofis.

“Terima kasih atas partisipasinya dalam memberi. Dan untuk yang belum bisa bepartisipasi, saya ucapkan terima kasih juga. Dan, mohon maaf jika saya mengganggu,” demikian pengamen tersebut menutup pekerjaannya.

Partisipasi? Secara epistemologis, kata “partisipasi” mengandaikan kesalinghubungan antara berbagai hal, katakanlah subjek dan objek. Dalam “partisipasi” subjek dan objek bukan merupakan hal yang terpisah samasekali. Hal ini berbeda dengan kata “pengamat” (subjek/observer), yang mengandaikan keterpisahan atas yang diamatinya (objek/observed). Dalam partisipasi, kata “subjek” dan “objek” ditulis menjadi “subjek-objek”, sebab diandaikan atas ketidakterpisahan antara keduanya. Berbeda dengan pengamat dan yang diamati, hal itu menjadi “subjek dan objek”, sebab diandaikan atas keterpisahannya.

Pertanyaan kita di sini ialah, apakah bisa subjek dan objek dipisahkan samasekali? Bisakah objek hadir kepada sang subjek tanpa dipengaruhi peranan subjek? Apakah subjek tidak turut mengkonstruksi objek? Jika subjek dan objek terpisah samasekali, bagaimana mengandaikan status eksistensi keduanya? Dan bagaimana menjelaskan pola relasi keduanya, jika kedua hal itu terpisah? Mengapa kover Kata Zine edisi ketiga oleh kolega saya yang teolog itu dikatakan secara estetika mengandung asumsi kekerasan, sedangkan bagi saya malah dianggap sebagai hal yang jauh dari samasekali kekerasan, melainkan suatu ungkapan metaforik dalam memaknai hidup itu sendiri—padahal kita berdua melihat objek yang sama, yakni kover Kata Zine edisi ketiga?

Tentu saja saya tidak akan memaparkan dan menjelaskan pertanyaan tersebut secara rigorus. Paling tidak saya akan mencoba mengilustrasikan bahwa subjek dan objek samasekali tidak bisa dipisah. Andaikan, jika Anda suatu saat melihat (siaran) pertandingan sepak bola, maka perhatikan reaksi para penonton terhadap pertandingan tersebut. katakanlah ada dua kesebelasan, yakni A dan B. Untuk pendukung A, tentu saja gol yang diciptakan oleh kesebelasan A merupakan hal yang menggembirakan. Hal itu beda dengan pendukung kesebelasan B. Gol yang diciptakan itu merupakan kesedihan untuk mereka. Jelas, fenomena yang terjadi di sini ialah gol. Akan tetapi, gol tersebut dilihat oleh orang secara berbeda satu sama lain. Pun tingkat intensitas kegembiraan dan kesedihan setiap orang berbeda satu sama lain. Artinya, gol itu pun tidak luput dari konstruksi seseorang, bukan gol yang dianggap gol belaka. Secara per definitif, gol adalah masuknya bola ke dalam gawang. Tapi orang melihatnya tidak hanya sekadar itu. Bisa saja gol itu merupakan tanda kehebatan, atau sebaliknya, kepayahan. Gol, sebagai objek, tidak bisa dipisahkan dari keterlibatan yang menonton pertandingan tersebut (subjek).

Ilustrasi lain ialah mawar. Secara umum mawar dianggap sebagai tanda cinta atau romansa. Kendati demikian, terdapat sebagian yang menganggap tidak seperti itu. Secara umum, banyak wanita yang merasa senang ketika lelakinya memberikan mawar. Tapi, ada yang malah sebaliknya. Mawar, sebagai objek, tidak selamanya dimaknai secara tunggal. Mau tidak mau hal seperti ini membuat kita mengajukan praasumsi bahwa dalam sebuah pengetahuan keterlibatan subjek terhadap objek pengetahuan tidak bisa dilepaskan.

Keterpisahan subjek dan objek disebabkan oleh asumsi dasar ontologis yang dualistik. Jelas, pola dualisme gagal dalam menjawab pola relasi kedua hal, yakni antara materi dengan kesadaran. Dalam pandangan dualistik, pemaknaan gol oleh kedua pendukung kesebelasan tersebut, hanya satu yang hakiki atau objektif. Padahal kita tahu, kesedihan (pendukung) kesebelasan B merupakan fenomena yang benar terjadi, objektif. Pun kegembiraan (pendukung) kesebelasan A merupakan fenomena yang tidak bisa ditolak, objektif. Dalam dualisme, hanya satu fenomena objektif. Pada kenyataannya tidak demikian. Fenomena tidak bisa hadir begitu saja dengan tanpa mengikutsertakan peran subjek. Objektifitas tidak bisa dilepaskan kaitannya dari subjektivitas.

Dengan demikian, ketika pengamen itu mengatakan “terimakasih atas partisipasinya,” maka sudah jelas pengamen itu menghargai keberadaan penumpangnya. Bukan kenapa, jika Anda pengguna setia bus, merupakan hal yang mudah ditemukan bahwa ada pengamen yang dengan seenaknya memainkan musik dengan bising, tanpa memedulikan keadaan penumpangnya. Tidur, atau tetap memaksa meminta uang walaupun orang yang dipintanya tidak memberi, yang boleh jadi tidak memunyai uang lebih, misalnya. Dengan mengucapkan kata “partisipasi”, maka merupakan hal yang niscaya pengamen tersebut memainkan musik yang diupayakan sedemikian rupa membuat para penumpang tidak terganggu kenyamanannya. Dalam hal ini, nyaman dimaksud, pengamen tersebut memainkan gitar dengan tidak terlalu sember, dan bernyanyi dengan suara yang nyaman didengar, tidak asal “bunyi”. Tentu saja, saya tidak bermaksud menetapkan standar di sini. Yang saya maksudkan, jika pengamen tersebut mengerti kata “partisipasi”, secara epistemologis, maka secara psikologis ia memunyai kesadaran akan hal-hal tersebut. Sebab, untuk orang yang melihat fenomena maraknya pengamen melulu sebagai kemalasan atau kebodohan, sebaik-baiknya pengamen dalam melakukan pekerjaannya, akan tetap dianggap sebagai hal yang menggangu. Kesadaran-kesadaran tersebutlah yang hendak saya tekankan di sini, bahwa pengamen tersebut tidak melihat dirinya terpisah begitu saja dengan penumpang, melaikan memiliki interkoneksi.

Hal ini yang akhirnya membuat saya mengerti kenapa pengamen ini terlihat santun dan sangat serius dalam melakukan aktivitasnya. Tidak asal menggenjreng gitar yang bikin memekakkan telinga itu, serta tidak asal bunyi yang malah bikin “polusi audio”, dan setelah itu dengan seenaknya menggerutu ketika tidak diberi uang. Dalam partisipasi, pengamen dan pendengarnya, dalam hal ini penumpang, tidak terpisah. Maka, pengamen yang menganggap dirinya sebagai partisipan pada “pentas” ini kali, memunyai kesadaran bahwa para pendengarnya juga patut mendapatkan suguhan yang memadai sesuai kemampuannya. Sebaliknya, penumpang pun sebagai partisipan yang diajak bepartisipasi, memunyai kesadaran bahwa kehadiran pengamen itu di dalam bus tidak bisa dilepaskan dari keberadaannya.

II.
Faktor dominan dalam fenomena pengamen era kekinian tidak bisa dilepaskan dari persoalan ekonomi. Walaupun faktor ekonomi bukan satu-satunya faktor. Kadang, secara sosiologis dan kultur fenomena pengamen tidak hanya sekadar urusan kesulitan mendapatkan uang. Kadang “kebermengamenan” merupakan hal yang dicitrakan sebagai hal yang keren untuk kawula muda. Kita ingat bahwa gaya hippies sempat menjadi trendsetter kala itu di kalangan anak muda, atau paling tidak pada beberapa tahun ini gaya punk sangat in sekali di tengah geliat anak muda. Yang mana secara umum dalam pandangan masyarakat awam, hal tersebut masih dianggap sebagai hal yang tidak biasa. Akan tetapi, bagi orang yang melakukan hal tersebut, berdandan kumal adalah hal “keren”. Tidur di jalan adalah hal “keren”. Adalah soal citra bermain di sini. Bagaimana citra itu mereproduksi makna. Kekumalan secara umum merupakan hal yang dimaknai sangat tidak keren (kultur), kemudian dimaknai (reproduksi) menjadi hal “keren” sebagai sikap antikemapanan. Reproduksi ini mengandaikan ketidakmenerimaan masyarakat secara umum akan hal tersebut (kontrakultur). Jika, masyarakat sudah bisa menerima dengan baik fenomena kontrakultur tersebut, maka hal itu tidak bisa dianggap sebagai kontrakultur lagi, melainkan subkultur. Nah, hal ini pun jika kita amati, terjadi pada sebagian kemunculan fenomena pengamen yang belakangan marak. Persoalan citra bermain di sini. Mengamen adalah hal “keren”. Lihat saja, tidak sedikit para pengamen yang berpakaian “necis”. Tentu saja saya tidak sedang melakukan pengukuran (measured) di sini, bahwa pakaian menentukan identitas strata sosial seseorang. Atau pengamen selalu lusuh dan kumal. Yang patut dicatat di sini ialah, saya menggunakan metode fenomenologi dalam menulis cerita saya ini. Dalam fenomenologi, ia berusaha untuk membiarkan objek “berbicara” sendiri. Yang hendak saya tekankan adalah persoalan citra. Pengamen yang dianggap sebagai hal yang “kumal”, “lusuh”, dan tidak “keren”, menjadi “rapih”, “necis”, dan “keren”. Hal ini bisa saja dibangun atas dasar asumsi identitas pakaian sebagai representasi strata sosial. Kendati demikian, faktor citra tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Sekalipun ada pengamen yang “lusuh” dan “kumal”, hal-hal yang berkebalikan atasnya tidak bisa dikesampingkan begitu saja. Bahkan, di sini ada istilah “punk kentrung”. Di maksud “punk kentrung” ialah sekelompok pengamen yang secara kultur mengidentifikasikan dirinya sebagai seorang punk, yang menjadikan pengamen sebagai simbol identitas dari berbagai simbol identifikasi yang ada. Nah, pengamen ini berpakaian lusuh dan kumal bukan berarti sekadar berpakaian kumal dan lusuh, melainkan menganggap hal tersebut sebagai identitas, citra. Entah citra itu bisa dimaknai sebagai hal “keren” atau bukan, itu lain hal.

Ketika “kultur utama” mulai membelenggu masyarakat, maka akan lahir kultur yang menjadi antitesisnya, yakni kontrakultur. Kontrakultur tersebut, bagaimanapun, tidak bisa dilepaskan dari kultur utama itu sendiri. Dalam arti kontrakultur pada dasarnya merupakan dialektika terhadap kultur pusatnya. Ketika kontrakultur tersebut, secara perlahan diterima secara umum, maka berubahlah ia menjadi subkultur. Dari sini saya baru akan mengaitkan pada persoalan yang sudah disinggung sebelumnya, bahwa kehadiran pengamen tidak bisa dilepaskan kaitannya dengan orang yang, katakanlah itu, nonpengamen.

Untuk memermudahkan kajian kita ini kali, saya membatasi dua faktor terhadap fenomena ini, yakni ekonomi dan citra. Dan setting peristiwa ini, atau kontekstualisasinya, berada pada tataran bus.

Jika, penumpang menganggap bahwa kehadiran pengamen merupakan hal yang sangat menggangu, maka hal itu tidak bisa dibenarkan begitu saja. Tentu, ada banyak pengamen yang menggangu kenyamanan. Akan tetapi bukan hal itu yang saya maksudkan. Yang saya maksudkan adalah fenomena pengamen itu sendiri, bukan bagaimana pengamen itu menjalankan aktivitasnya. Kemuculan fenomena pengamen yang marak belakangan adalah satu hal, dan aktivitas pengamen adalah hal lain. Secara ekonomi, fenomena pengamen muncul akibat tidakmeratanya distribusi ekonomi, kesempatan berkerja, terbatasnya lapangan pekerjaan, dan hal-hal lain yang dikatagorikan sebagai struktural. Jika kaitannya dengan ekonomi, maka hal itu kita sebut sebagai pemiskinan struktural. Jadi, kemiskinan, salah satu hal yang membuat kemunculan fenomena pengamen bak cendawan di musim hujan, merupakan hal yang dikondisikan sedemikian, bukan melulu disebabkan kemalasan dan kebodohan. Nah, sebagai hal struktural, tentu masalahnya sangat kompleks dan organis. Hampir semua dari kita, secara tidak langsung, “terlibat” dalam pemiskinan struktural ini.

Dengan demikian, mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika kita enggan memberi uang kepada pengamen, betapapun bagusnya pengamen itu bermusik. Akan tetapi, merupakan hal yang sangat bermasalah jika kita mengutuk kehadirannya, “kebermengamenan”, dan pada saat sama kita menolak kenyataan bahwa kita pun turut “beperan” didalamnya. Inilah kesadaran yang perlu kita tumbuhkembangkan pada diri kita jika bertemu dengan pengamen. Kesadaran organis. Kesadaran yang pada akhirnya, menjadikan kita untuk memiliki kesadaran empati. Jika pengamen adalah tanda (signifier dan signified) kemiskinan, maka secara tidak langsung kita memunyai “peranan” di sana. Sudah sepatutnya kita tidak menggerutu akan kehadiran mereka.

Pada sisi lain, jika fenomena pengamen yang belakangan muncul sebagai sebuah permainan rangakaian citra “kekerenan”, tidak boleh dilupakan juga bahwa dalam masyarakat modern yang sangat alienatif dan reikatif serta konsumer ini, akan mudah membuat orang menjadi hal yang saya sebut sebagai “masyarakat objek”. Masyarakat objek dimaksud ialah objektivikasi, yakni di mana terdapat tipologi umum pada setiap orang untuk mencitrakan dirinya agar “eksistensinya” muncul ke permukaan (surface) dan tampak (appearance). Masyarakat objek berakar tunjang pada pola relasi sosial yang teralienasi, dan hal itu yang pada akhirnya menyebabkan gejala atau patologis reifikasi. Jika, Anda menganggap pengamen yang ditemui dalam bus sebagai hal “yang lain”, “the other” bukan dalam pengertian kategoris, melainkan eksistensi, maka itulah gejala yang disebut sebagai alienasi dan reifikasi.

Partisipasi mengandaikan keorganisan. Pemaknaan “kebermengamenan” akan gagal kita tangkap jika peran pengamen, penumpang, supir dan kondektur saling dipisahkan satu sama lain.

Setelah saya tersenyum mendengar pengamen itu mengucapkan terima kasih atas partisipasi para penumpang, segera saja terhenti ketika dia menambahkan, bahwa untuk yang belum bepartisipasi saya ucapkan terima kasih juga. Nah, di sini pengamen itu telah melakukan reduksi bahwa partisipasi ialah Anda memberi uang untuknya. Dengan demikian, pengamen itu menganggap bahwa Anda, sebagai penumpang, jika tidak memberi uang adalah hal “yang lain” (the other). Secara psikologis, pengamen ini menganggap bahwa sikap kepedulian atau kepartisipasian itu diukur pada memberi uang atau tidak. Yang tidak memberi kepadanya dianggap tidak peduli. Yang memberi padanya dianggap peduli. Padahal belum tentu begitu. Bisa saja orang yang tidak memberinya merupakan sosok yang sangat peduli, hanya saja kebetulan orang itu tidak punya uang lebih. Pun boleh jadi orang yang memberi pada kenyataannya merupakan orang yang tidak peduli padanya. Ia memberi sebab takut dipelototin oleh pengamen itu jika tidak mengasih uang, misalnya.

III.
Mendadak saya ingat, sehari sebelumnya saya menjumpai pengamen yang dalam keadaan mabuk hebat. Dia mengamen tidak menggunakan instrumen musik, melainkan hanya bernyanyi saja. Karena mabuk, suara dia terdengar bukan sebagai nyanyian, melainkan “bunyi”. Ia teriak, tentu di luar kontrol dia, dan menuding siapa saja dengan jarinya. Kadang di tengah lagu ia terhenti, mengingat apa lirik berikutnya. Kadang gagal, kadang ia berhasil mengingat. Jika gagal mengingat, ia akan mengulang dari awal. Ia berjalan dengan terhuyung, kadang menyenggol dengan kencang dan menabrak tubuh penumpang. Kadang ia meludah sembarangan di dalam bus berkali-kali. Kadang ia berada dalam posisi di antara keadaan terjatuh dan menahan jatuh. Pengamen itu asik dengan dunianya sendiri, dengan menafikan dunia penumpang. Inilah yang tidak disebut sebagai partisipatif. Menjadikan penumpang, sebagai objek partisipasinya, sebagai hal yang terpisah.


Artikel Terkait:

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner