Manis di Bibir, Isabella, Don Kis[h]ot, Penerjemahan Buku, dan Anjasmara

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.03.2010

Entah, hal apa yang membawa saya dengan partner saya meng-googling lagu-lagu lawas dari band-band Malaysia era 90-an. Barangkali lantaran soal manis di bibir yang menautkan kami pada band Exists. Dari situ, bermula perambahan itu.

Ketika mendengar lagu "Mencari Alasan", kami tertarik dengan pilihan diksi yang digunakannya, seperti “memutar kata”, “meraih simpati dan harapan”, misalnya. Dulu, ketika mendengarnya mungkin biasa saja. Tetapi, entah mengapa kali ini tidak begitu.


Tanpa ba-bi-bu, kami segera melanjutkan perambahan. Kami sampai pada Search, tepatnya Ami Search. Kami dengarkan lagu Isabella yang termasyhur itu. Kali ini Ami Search tidak bernyanyi seorang diri, melainkan didukung oleh penyanyi lain, seperti band Iklim, Slam, dan ... (saya lupa, maaf!). Ketika mendengar, kami hanya tertegun. Konsepsi dan bayangan soal ketampanan, Gito Rollies (Allāh yarham), Stone Temple Pilots, bersliweran begitu saja.

Iklim? Slam? Segera kami ingat soal kesucian debu itu, termasuk gerimis mengundang (kadang kerap diplesetkan menjadi gerimis mengandung). Astaga! Partner saya terpekik ketika tahu bahwa “Suci dalam Debu” lagu milik band Iklim itu nyatanya lagu tersohor. Bernyanyilah kami bersama.

Kami baru menyadari, liriknya menggunakan diksi sarat interpretatif. Simak saja! Berbeda sekali dengan masa sekarang. Hal ini juga menyeret kami pada memori lain: soal penerjemahan buku. Di awal 1900-an, banyak sekali buku bermutu atau buku yang diklaim sebagai khazanah dunia diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia. Menariknya, penerjemahnya pun bukan sekadar orang yang mahir bahasa Inggris atau memiliki ijazah S1 sastra Inggris, melainkan orang yang menguasai bidang atau ranah buku itu berbicara. Sebut saja novel raksasa Don Quixote itu. Buku itu diterjemahkan oleh Abdul Moeis (perhatikan, pada kata Abdul, fonem “u” ditulis “u”, sedangkan pada kata Moeis, fonem “u” ditulis “oe”). Jika Anda pernah mendengar kata Don Kisot, boleh jadi itu jasa A. Moeis. Omong-omong, Don Kisot itu jika merujuk dialek Spanyolnya tidak tepat, seharusnya Don Kihot. Tetapi, itu tidak soal. Toh penutur bahasa Inggris sering seenak udelnya mengeja nama-nama orang non-Barat.

Terus, arah tulisan ini quo vadis?

Pengen bilang bahwa betapa kenangan itu berarti, termasuk kenangan buruk. Bahkan dalam disiplin sosiologi dan antropologi, dan diskursus serta kajian perdamaian, soal memori [kolektif] menjadi bahan penelitian tak berkesudahan. Sama halnya dengan yang kami alami barusan. Dulu, band Malaysia pada era 90-an sangatlah tidak asing bagi kalangan Indonesia. Kita menyambutnya dengan hangat. Tetapi, sejak muncul perkara cek-cok kenegaraan, rasanya kata Malaysia menjadi pelik, tidak seperti dulu. Bahkan kata Malaysia diidentikkan dengan Maling Sia. Memori itu jugalah yang membuat kami berpikir bahwa manusia itu sangatlah mudah dibentuk lingkungannya, sebagaimana helai daun di dahan tertinggi, yang gampangan saja mengarah mengikuti angin mengembusnya.

O, iya, lupa, akhirnya tadi kami juga menutup jelajah kami dengan memelototi Anjasmara dengan rambut belah tengah itu beserta mak cik Siti Nurhaliza yang menor sekali, terutama lipstik tebalnya. Berbeza (Indonesia: berbeda) dengan masa mak cik sekarang.

Akhirul kalam, betapapun, memori merupakan suatu hal yang dihadirkan kembali pada masa kekinian. Jelas, hal kekinian turut membentuk tajam soal masa lalu. Dengan cara seperti ini jugalah kekisruhan tanpa ujung yang dialami Indonesia dapat dilihat dan memberikan sudut pandang baru yang cukup menarik—paling tidak baru bukan dalam discovery, melainkan innovation. Misalnya, mengapa kasus mematikan Mbah Priok itu dihadirkan sementara pada saat sama penggusuran tanah persil di Sumatra Utara sana tidak dihadirkan? Lalu, bagaimana kasus Mbah Priok itu dihadirkan? Serupa dengan hal itu, kasus Gayus perlu menggunakan gayung bersambut yang berbeda sama sekali. Kata orang-orang gnostik dan sufi, rahasia itu ditemukan tidak pada yang tampak belaka, tetapi bukan berarti ia tersembunyi. Yang perlu dilakukan ialah mencoba menggeser derajat kacamata kita. Demikian, kata para wali dan santo[a].[] 



Artikel Terkait:

{ 1 komentar... read them below or add one }

Cyntia mengatakan...

Manis di bibir, saya juga suka lagu-lagu lama koleksi ayah... :)

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner