Tidak Selamanya dengan Uang Kita Bisa Makan

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.03.2010

“Sementara [itu], banyak orang lapar lantaran tidak punya uang, kita mau makan saja bingung, padahal punya uang. Kita ini benar-benar zalim”.
Selepas membantu guru saya mengasisteni kuliah S2 untuk mata kuliah Filsafat Agama, di salah satu universitas, bersamanya kami meluncur ke kantor di bilangan Jakarta Selatan. Bukan Jakarta Kota Metropolutan jika tidak macet pada jam makan siang. Pada saat “menikmati kemacetan”, guru saya menelpon kolega juniornya, mengajak makan.

“[S]udah makan siang?” bukanya.
“Mau makan di mana?” sambungnya.

Barangkali, pewicara di seberang saluran sana mengatakan “Saya tidak tahu!”, lantaran guru mengatakan, “Anda tidak ada rekomendasi tempat?”.

Mereka berdua sibuk sekaligus bingung menentukan tempat makan yang menyediakan dan memberikan nuansa yang “itu-itu” saja.

“Ok, begini saja, saya sedang dalam perjalanan menuju kantor. Selama perjalanan itu, banyak tempat makan. Nanti saya akan pilih tempat mana saja. Anda menyusul yah!” tegasnya.

“Sementara [itu], banyak orang lapar lantaran tidak punya uang, kita mau makan saja bingung, padahal punya uang. Kita ini benar-benar zalim,” sambungnya.

Saya terhenyak! Bagi sebagian orang, makan bukan soal kebutuhan fisiologis dan uang melulu. Untuk orang yang kesulitan mendapatkan uang, pengalaman lapar karena tidak punya uang, hal lapar itu masih bisa dimaklumi jika dikaitkan dengan uang. Tetapi, sejak guru saya berkata seperti itu, saya merasa harus memikirkan ulang bagaimana soal putusan makan itu diambil oleh manusia yang serbakompleks itu.

Sebelumnya, saya sudah mengkaji bagaimana seorang manusia itu memutuskan makan dalam konteks bentuk (form) makanan itu sendiri. Bagi sebagian orang, daging sate yang disajikan dalam bentuk konvensional kalah menggoda jika dibanding dengan daging sate yang dibentuk “love”. Bubur yang diaduk sedemikian rupa dengan bumbu hingga menyerupai sisa pembuangan manusia akan diabaikan ketika turut dihadapkan bubur khas Bandung yang tidak memakai bumbu kuning ala bubur pada umumnya. Sarinya, manusia ketika memakan suatu makanan tidak hanya berurusan pada rasa makanan itu sendiri, melainkan bagaimana makanan itu disajikan dalam bentuk yang menyentil rasa ingin tahu.

Tetapi, perkataan guru barusan, menyentil kesadaran lain, bahwa soal orang bingung untuk makan atau mau makan apa, tidak hanya disebabkan ketiadaan uang sebagai alat tukar itu. Saya mendadak mengingat, bahkan hal-hal lalu melesat begitu saja di benak, soal-soal semirip yang pernah saya alami atau dengar. Sontan, ketakutan menyergap. Jangan-jangan saya termasuk zalim!

Paradoksikalitas dalam hidup tidak kunjung usai didebatkan dan terpahami. Sesuatu yang baik, bisa saja kelak menjadi buruk, vice versa. Indonesia sering diberitakan terjadi kelaparan, bahkan ada seorang ibu beserta anaknya mati lantaran tidak makan. Banyak orang mengemis, mengamen, bahkan menodong, hanya untuk kebutuhan perut dirinya dan barangkali untuk kebutuhan keluarganya. Mereka membutuhkan uang untuk dapat makan. Tanpa uang, mereka akan kebingungan untuk makan.

Pada sisi lain, turut terdapat kebingungan lain untuk makan. Bedanya, kali ini ada uang, lebih bahkan. Keduanya, sama-sama bingung untuk makan, dengan alasan berbeda.

Barangkali kata zalim bagi Anda terlalu berlebihan. Tetapi, jika dikaitkan dengan fenomena lapar akibat tidak ada uang, saya rasa tidak berlebihan. Kadang, agar melihat sesuatu memiliki nilai baik di dalamnya, seseorang perlu melihat nilai buruknya. Dengan mengingat bahwa banyak orang yang tidak bisa makan karena tidak punya uang, dan kenyataan bahwa saya pernah telat makan atau malas makan karena enggak tahu mau makan apa atau bosan makan makanan itu-itu saja, saya insyaf. Hidup ini begitu kompleks memang.[]

“Sementara [itu], banyak orang lapar lantaran tidak punya uang, kita mau makan saja bingung, padahal punya uang. Kita ini benar-benar zalim.”

Jakarta—Bandung, Januari–April 2010



Artikel Terkait:

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner