Hiper-Ramadhan (1)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.05.2010

Semua ibadah dalam Islam memunyai tujuan atau pesan moral. Bahkan, al-Qur'ân al-Karim, ketika hendak membicarakan persoalan, katakanlah seperti hukum dan ibadah, mendasarkan dirinya pada semangat moralitas tersebut. Dan, diriwayatkan secara kuat bahwa Nabi Muhammad mengatakan bahwa "Sesungguhnya aku diutus tidak lain untuk menyempurnakan akhlak yang mulia". Dengan demikian, bisa kita katakan bahwa Islam memunyai dimensi moralitas yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Dimensi moralitas berarti nilai sosial (muamalah), paling tidak untuk mengetahui kadar kualitas akhlak seseorang, pada ranah sosial kita bisa mengetahuinya.


Puasa Ramadhan bukanlah melulu ritual
Entah bagaimana memaparkan dan menjelaskan dengan sangat singkat dan komprehensif serta ekstensif, paling tidak dalam tulisan singkat seperti ini, tentang mengapa Islam yang tidak hanya memunyai satu dimensi, yakni multidimensi, pada kenyataannya memerlihatkan dirinya hanya satu wajah, yakni ritual atau hukum (fiqh); dimensi lain, seperti moralitas (aksiologis) dan intelektualitas, misalnya, hampir absen dalam keseharian kita. Paling tidak, pemunculan wajah Islam yang tunggal sedemikian tidaklah lahir dari ruang yang kosong. Ada berbagai hal yang melatari. Sampai sini, setidaknya, diketahui bahwa Islam tidak memunyai satu dimensi, melainkan multidimensi.

Puasa yang disinari dengan pandangan atau dimensionalitas keagamaan yang bersifat ritual belaka, akan menghadapi benturan dari tujuan puasa itu sendiri, yakni transformasi sosial yang diiringi dengan transformasi karakter kemanusiaan manusia (akhlak). Puasa ritual hanya dipahami sebatas menahan lapar dan dahaga. Akan tetapi, apa makna dari menahan lapar dan dahaga tidaklah direnungi. Pada Ramadhan, banyak orang membentuk pengajian, seakan-akan membaca al-Qur'ân itu hanya pada waktu bulan Ramadhan saja. Yang sebelumnya abai dan cuek terhadap pengemis, pada ini kali dengan cekatan memberi. Seolah-olah hanya pada bulan Ramadhan sajalah bersedekah itu. Ramai orang berusaha untuk mengejar waktu shalat tarawih yang sunnah itu dengan meninggalkan banyak hal penting, yang tidak kalah "wajibnya". Menghormati atau memerhatikan tetangga, misalnya. Tidak bisa dipungkiri, karena tidak mengetahui sejarah shalat tarawih, ada banyak orang yang menganggap bahwa tidak melaksanakan tarawih maka puasanya menjadi tidak afdhal. Padahal, sejatinya tidak begitu. Pada akhirnya, mencibirlah orang yang tarawih kepada orang yang tidak tarawih.

Ketika berbuka, banyak dari kita disibukkan dengan aneka pilihan menu apa yang hendak dimakan. Menu yang biasanya kita hidangkan pada meja makan kita paling banter sebulan sekali atau seminggu sekali, kini bisa setiap hari. Lihatlah, keadaan pasar pada pra-puasa dan ketika puasa. Ada lonjakan permintaan atau kebutuhan yang dengan mudah kita temukan. Ketika menjelang puasa dan Lebaran ('Id al-Fithr) harga-harga barang-barang, baik itu primer, sekunder, tersier, menjadi naik dengan sangat pesat. Ada hal yang tidak biasa terjadi di sini, sehingga menyebabkan harga-harga barang naik. Katakanlah itu, pola konsumsi kaum Muslim ketika sebelum puasa dan puasa serta menjelang lebaran, terdapat perbedaan grafik permintaan. Menariknya, pada saat yang sama, menjelang puasa atau lebaran, jumlah gelandangan dan pengemis meningkat.

Salah satu ketimpangan dalan ekonomi yang menyebabkan kemiskinan ialah tidak berjalannya distribusi kekayaan secara adil. Dengan kemajuan yang sudah dicapai oleh perdaban modern, tentu saja persoalan kemiskinan, paling tidak soal ketidakadilan dalam pendistribusian kekayaan, seharusnya bisa dijawab. Ironisnya, justru para ekonom tidak hanya sekadar tidak mampu menjawab, melainkan tidak mampu memahami inflasi, ledakan pengangguran, dsb. Ketidakmampuan ekonom tersebut terletak pada pandangan-dunianya yang melihat berbagai hal dengan cara terpisah, samasekali tidak memunyai kaiatan atau hubungan.

Sama halnya antara ekonom dengan orang yang tidak mengerti persoalan ekonomi, katakanlah nonekonom, yang tidak pernah memahami bahwa pola tindakannya memunyai pengaruh. Sebut saja kaum Muslim yang mendadak meningkatkan konsumsinya pada Ramadhan dan menjelang Lebaran, tidak pernah samasekali merenungkan akibat dari perilakunya. Tentu saja, ketidakmampuan berpikir secara integral dan holistik tersebut, tidak terpatri begitu saja pada benak kita. Sebagai makhluk individual, yang sekaligus makhluk sosial, kita tidak bisa memungkiri bahwa pada titik tertentu lingkungan sosial memunyai peran dalam membentuk karakter kemanusiaan kita. Dari sekolah hingga majelis taklim, kita sudah diajarkan hidup dengan cara-pandang modern, yang mekanistik-deterministik-reduksionistik-linear itu.

Dari sini, kita bisa mengerti mengapa zakat tidak pernah efektif dalam meningkatkan kesejahteraan. Jangankan untuk skala besar, untuk skala kecil pun zakat tidak efektif. Ketidakefektifan zakat dapat dilacak dari sikap mengeluarkan zakat tersebut. Kesadaran utama pada zakat ialah bahwa harta, harta dalam pengertian yang luas, yang dimiliki oleh seseorang terdapat hak orang lain yang membutuhkan. Kesadaran ini mengandaikan bahwa kehidupan seseorang tidak terpisah dengan kehidupan orang lain. Permasalahan yang kita hadapi ialah, kesadaran tersebut absen dari kesadaran kaum Muslim kebanyakan. Bagi mereka zakat urusannya ialah soal pahala dari Tuhan. Konsep seperti ini mengandaikan bahwa zakat itu untuk dirinya sendiri atau self-salvation, tidak untuk kemaslahatan bersama atau manusia (dalam hadits qudsi Tuhan mengatakan bahwa temukanlah diri-Nya di orang-orang yang tengah kelaparan, dan tidak berbaju serta dililit hutang). Dimensi sosial pada zakat samasekali hilang dalam model kesadaran seperti ini. Pada akhirnya, selain zakat menjadi tidak efektif, kita bisa melihat bahwa ada keterputusan dalam soal “sedekah” seperti ini. Ketika bulan Ramadhan berlalu, surutlah soal berbagi harta.

Selama ini, secara mainstream ibadah dipahami dengan melepaskan dimensi sosialnya. Tentu saja dimensi transendental merupakan akartunjang dalam ibadah itu sendiri. Akan tetapi, dimensi transendental tersebut merupakan sandaran nilai dari suatu perbuatan kita. Dengan kata lain, jika ada pertanyaan yang muncul bahwa darimana landasan aksiologis segala perilaku kita bersumber, maka kita menjawab dari nilai transendental tersebut. Ketika dimensi sosial dari ibadah tersebut hilang, maka kita akan dihadapi pada efektivitas ibadah kita dalam kehidupan yang kita jalankan. Karenanya, kita bisa mengerti mengapa segala ibadah diajarkan oleh agama dalam konfigurasi sosial. Shalat, misalnya, disebut-sebut al-Qur'ân sebagai upaya untuk mencegah diri dari perbuatan tercela dan keji serta. Puasa, zakat, dan haji demi meningkatkan kadar moralitas atau kesalehan sosial kita. Untuk yang pernah mengkaji tafsir al-Qur'ân secara maudhu'i akan mendapatkan bahwa benang merah ajaran Islam ialah untuk kebaikan manusia itu sendiri dalam kehidupan sosialnya. Jika agama menitikberatkan pada kehidupan akhirat, ia pun tidak pernah absen dalam menekankan kehidupan duniawinya. Dalam arti, jika kehidupan akhirat adalah kehidupan yang layak dikejar oleh orang beragama, agama tidak bisa melupakan kenyataan bahwa manusia hidup dalam dunia yang fana ini. Dengan demikian, untuk mencapai kebahagiaan akhirat, hal tersebut ditentukan pada kehidupan dunianya. Sampai sini kita tidak bisa melepaskan betapa pentingnya kehidupan dunia yang fana ini pada ajaran agama. Hanya saja, kehidupan dunia itu bukanlah sebagai tujuan, melainkan sarana. Ketika sarana (kesalehan sosial) untuk mencapai tujuan tersebut rusak, maka tujuannya pun akan rusak pula.

Puasa pada dasarnya tidak akan mampu memberikan manfaat pada diri kita, ketika ia dipahami dengan cara melepaskannya dari dimensi sosial. Jika kita menghayati dimensi ini pada puasa kita, tentu sikap kita yang berlebihan dalam merayakan puasa, akan dipikirkan ulang. Misalnya, mengonsumsi secara berlebihan. Pada akhirnya, tidak akan kita berbuka dengan menu yang berlebihan saat banyak tetangga kita menderita kelaparan. Tidak akan kita membeli pakaian baru secara berlebihan, ketika banyak tetangga kita tidak "berbaju". Tentu saja ada banyak hal yang bisa kita sebutkan di sini, yang perlu kita pertimbangkan kembali atas sikap kita dalam menjalankan ibadah.

Buru-buru perlu saya sebutkan di sini, bahwa agama tidak menekankan kepada diri kita untuk harus selalu "siap siaga" membantu kesulitan orang, paling tidak di sekitar kita (kerabat dan tetangga). Tentu saja, hal itu yang memang diinginkan atau diidealkan oleh agama. Akan tetapi, ketika agama menekankan hal itu tanpa sikap gradual samasekali, sama saja agama menetapkan standar kesalehan sosial yang sangat tinggi sekali. Dan, tidak semua orang mampu melakukan hal tersebut. Kita harus memahami bahwa agama hendak mengajarkan sikap organis dalam kehidupan sosial kita. Dimaksud sikap organis ialah, kita menyadari bahwa kehidupan kita saling berhubungan satu sama lain. Dengan kesadaran seperti ini, minimal kita memunyai sikap keprihatinan sosial dan empati dalam kehidupan kita.

Ikhtisar
Ibadah selalu memunyai dua dimensi: dimensi nonsosial dan dimensi sosial[1]. Puasa, dan ibadah lainnya, pada dimensi nonsosialnya, kita lakukan karena Tuhan dan bukan untuk Tuhan, melainkan untuk diri kita sendiri. Balasan pahala, misalnya. Adapun, dimensi sosialnya, ibadah kita lakukan karena kemanusiaan dan untuk Tuhan, bukan melulu untuk kita sendiri. Pada dimensi ini, ibadah mampu membawa diri kita pada perubahan atau menjadikan kita saleh dalam konteks sosial. Dan, dari dimensi ini pula dimensi nonsosial menjadi bermakna.

Sebagai penutup, saya akan menukil kisah Musa as untuk dapat memahami dimensi sosial itu.

Alkisah, Nabi Musa as bermunajat kepada Tuhan. Sang Maha Suci bertanya, "Hai Musa, banyak sekali ibadahmu, yang mana untuk-Ku?" Musa terkejut mengapa Dia bertanya tentang ibadahnya, sebab semua ibadahnya untuk Tuhan: "Shalatku, hajiku, kurbanku, doa, dan zikirku".
Tuhan berkata: "Semuanya untuk kamu, mana untuk-Ku?" Musa bingung dan berkata: "Tunjukkan pada hamba-Mu yang lemah ini, mana ibadahku untuk-Mu!" Tuhan berkata: "Berkhidmatlah kepada hamba-hamba-Ku!"


Dari kisah ini kita mengetahui bahwa ibadah untuk Tuhan ialah bekhidmat kepada manusia. Ibadah yang kita lakukan tanpa melihat dimensi kemanusiaannya, pada dasarnya untuk kita, bukan untuk Tuhan.

Dalam riwayat lain, pada hadits qudsi, kita dapat menemukan substansi serupa:

Hai Musa, tahukah kamu bahwa ada seorang hamba di antara hamba-hamba-Ku yang memunyai dosa dan kesalahan yang begitu banyak sehingga memenuhi sudut-sudut langit. Tetapi Aku tak hiraukan dosa-dosanya; semuanya Aku ampuni.
Mengapa tidak Kau hiraukan, ya Rabb?
Karena ada satu hal yang mulia yang Aku cintai dalam dirinya. Ia mencintai fakir miskin. Ia bergaul akrab dengan mereka. Ia menyamakan dirinya seperti mereka. Ia tidak sombong. Jika ada hamba-Ku seperti dia, Aku ampuni dia dan Aku tidak hiraukan dosa-dosanya.


Dari sini kita bisa mengerti apa yang dimaksud oleh Nabi Muhammad saw ketika mengatakan bahwa "Betapa banyak yang berpuasa yang tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya, kecuali lapar dan dahaga". Juga apa yang dimaksud oleh al-Qur'ân dalam Surah al-Ma'un ayat 4-7: maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat; [yaitu] orang-orang yang lalai dalam shalatnya; orang-orang yang berbuat riya [pamer saja]); dan [yang] menghalangi [menolong dengan] barang berguna [bermanfaat].

Dengan demikian, kita bisa membuat tali simpul bahwa, ibadah puasa adalah perkhidmatan pada sesama di bulan Ramadhan. Semoga, kita termasuk ke dalam bagian orang yang menjalankan perkhidmatan pada puasa di bulan Ramadhan ini. Dan semoga, nilai Ramadhan, bulan yang penuh dengan hikmah ini, akan tetap hadir dalam diri kita pada bulan-bulan lainnya.

Wa Allah a'lam

[1] Sebelum saya menggunakan istilah dimensi nonsosial dan dimensi sosial, saya menggunakan dimensi ilahiah dan dimensi kemanusiaan. Akan tetapi, karena secara sepintas lalu terlihat dikotomis, walaupun tidak begitu, dan pada saat sama khawatir dipahami secara dikotomis, maka saya urungkan. Saya juga agak kesulitan untuk memberikan istilah yang saya maksudkan ini. Dalam arti, karena begitu kompleksnya, kadang bahasa itu tidak mampu mewakili apa yang kita maksudkan. Dalam istilah yang saya gunakan ini, tentu saja akan menjadi masalah baru ketika ia dilihat secara dikotomis. Karenanya, istilah yang saya gunakan ini jangan dilihat dengan logika biner. Istilah yang saya gunakan di sini, hanya untuk memberikan kemudahan, paling tidak pembedaan masalah. Akan tetapi, kadang bahasa juga bersifat membatasi kekayaan makna yang sedang kita maksudkan, maka boleh jadi malah menjadi tidak tepat. Kendati demikian, dengan memertimbangkan hal-hal di atas, saya tetap menggunakan istilah ini, sebab jika kita melihat konteks tulisan ini serta melampaui pandangan logika biner, maka istilah tersebut bisa dipahami. Setidaknya begitu harapan saya.


Artikel Terkait:

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner