Gambar dari sini |
Negeri ini, bangsa Indonesia, bakal menyongsong Dirgahayu Kemerdekaan RI, yang ke-65. Pada masa enam dekade lebih itu, pernahkah kita meluangkan waktu untuk merenungkan bahwa kita lepas dari penjajahan bangsa Eropa, tetapi bangsa ini belum lepas dari jajahan anak bangsanya sendiri. Lihatlah, di Papua, masyarakat asli tergerus dan tersisih. Sisa hasil tambang Freeport, petailing, kini jadi rebutan antara pembuangnya dengan masyarakat lokal. Sesuatu yang dibuang itu kini hendak direbut kembali. Di belahan lain, masyarakat adat seperti di Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Sumatra, dan lainnya, terancam kalah oleh hantaman modernisasi. Masyarakat adat, jangankan mempertahankan agama ulayatnya, tanah ulayatnya pun secara umum nyaris tinggal cerita.
Di mana makna perayaan Kemerdekaan Indonesia yang selalu kita sambut gegap gempita itu ketika saudara/i tanah air kita nyaris gagal hidup layak ala kadarnya?
Wahai, Sahabat, pernahkah dialog agama yang kerap digalakkan itu mengikutsertakan agama lokal atau agama ulayat? Jika ajaran agama kita bisa disebut agama, mengapa agama ulayat tidak bisa kita sebut agama? Apa salahnya ajaran agama mereka?
Semoga saja, masyarakat adat itu benar-benar bagian dari kita, bangsa Indonesia, sehingga Dirgahayu RI itu berarti kemerdekaan juga bagi mereka: merdeka dari penjajahan rekan bangsanya sendiri!
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.