Belakangan saya memunyai kebiasaan baru; sering memerhatikan tingkah laku sebagian teman ketika sedang mendengarkan musik, bagaimana reaksinya ketika mendengar nama seseorang yang dipujanya terlontar dari mulut orang lain, bagaimana air mukanya ketika datang ke tempat kos. Juga bagaimana tiba-tiba teman itu langsung rebahan di kasur atau duduk memisahkan diri di pojok. Memerhatikan secara menjeluk bagaimana matanya mengerling. Saya pikir, hal ini merupakan pengalaman yang tidak biasa lagi. Sederhana saja, saya sedang patah hati.
Iya, patah hati membuat saya melihat sesuatu dengan sudut pandang yang samasekali lain. Sehingga, baru menyadari bahwa ada banyak sudut pandang yang bisa dilihat dalam segala hal. Dengan kata lain, saya telah melupakan bahwa cinta tidak boleh dibatasi hanya pada diri saya dan orang yang saya cinta. Karenanya, sempat terheran pada awalnya ketika saya melihat perilaku sebagian teman dengan sudut pandang ini. Sempat berpikir bahwa saya terlalu berlebihan dalam menyikapi pengalaman cinta.
Beruntungnya, sebagai konsekuensi, saya dapat dengan mudah mengatur kehendak cinta, lebih tepatnya perhatian tidak hanya kepada satu persoalan. Tiba-tiba teringat dengan ucapan Erich Fromm yang mengatakan bahwa cinta yang matang adalah tetap memberi ketika orang yang kita cintai tidak balik mencintai. Tidak hanya tetap memberi kepada orang yang tidak balik mencintai, melainkan saya selalu merenungkan tentang ungkapan atau ekspresi cinta—baik itu pengalaman langsung, maupun pengalaman cinta teman. Pada akhirnya, juga mampu berempati terhadap pengalaman cinta di luar diri saya.
Ketika patah hati, sempat merasa bahwa saya sangat konyol karena tidak mampu menutupi kesedihan tersebut. Banyak teman yang memberikan nasihat bahwa saya ini terlalu “memikirkannya dengan serius”. Lamat-lamat saya bisa mengatur itu semua. Entah, apakah ini disebabkan oleh ketidaknyamanan karena diledeki atau memang saya sudah melewati masa-masa “keterkejutan”. Kendati demikian, ketika saya mendengarkan atau melihat sesuatu yang langsung mengingatkan akan “dia”, sontak air muka langsung berubah. Saya terdiam. Saya sangat pengin waktu berhenti ketika itu; atau malah merasa waktu itu berlompatan keluar, seolah-olah berada di alam imajinal. Saya tidak memerdulikan keadaan sekitar. Yang ingin dilakukan hanyalah menikmati semua rasa yang hadir tersebut. Memejamkan mata.
Akan tetapi, pertanyaan apakah saya memang belum bisa menerima kenyataan ini selalu mengusik. Apakah benar saya terlalu “serius”. Bagaimana memahami dan membedakan cinta yang dianggap “santai” dan “serius”? Jangan-jangan yang dianggap “serius” maupun “santai” itu tidak ada samasekali, melainkan hanya ilusi belaka? Mungkin ini hanya subyektifitas? Akan tetapi apakah pengalaman subyektif yang banyak ditemui dalam pengalaman seseorang masih dianggap subyektif?
Yang membuat manusia sebagai entitas unik adalah ia mempunyai pengalaman yang berbeda satu sama lain walaupun menghadapi realitas yang sama. Pisau yang ada di hadapan sang koki, ditafsirkan olehnya untuk mengiris atau memotong. Lain ketika pisau itu dilihat oleh tukang asah pisau; apakah pisau itu sudah tumpul atau masih tajam. Begitupun dengan ibu yang balitanya hendak meraih pisau, segera pisau itu akan disingkirkan; pisau dilihatnya sebagai benda yang berbahaya. Ketika seseorang yang diperkosa mungkin ia akan melihat pisau sebagai alat yang bisa dugunakan untuk membela diri. Berbeda dengan polisi yang mempunyai praasumsi bahwa setiap orang yang membawa pisau di ruang publik dianggap sebagai orang yang mempunyai kecenderungan berbuat jahat.[1] Ilustrasi tersebut menandaskan bahwa pisau (realitas) dilihat oleh tidak hanya satu orang akan menghasilkan penafsiran berbeda satu sama lain.
Saya percaya, bahwa patah hati tetap merupakan hal yang tidak menyenangkan.[2] Masalahnya, bagaimana menafsirkan ketidaksenangan tersebut atau bagaimana mencitrakan ketidaksenangan tersebut?
Seiring waktu melangkah saya tahu, bahwa saya tidak sendirian yang gelisah ketika patah hati. Karena pengalaman patah hati tersebut selalu direnungkan, saya mulai memerhatikan sebagian besar teman. Saya tidak percaya bahwa mereka bisa dengan cuek menganggap cinta sebagai hal yang remeh-temeh, mungkin hal ini diakibatkan oleh praasumsi saya bahwa cinta merupakan hal yang inheren pada manusia.
Dugaan saya tidak meleset. Perlahan saya mulai menyadari bahwa tindakan mereka yang sebelumnya terlihat jauh dari persoalan cinta, ternyata mencitrakan pengalaman cinta mereka. Atau mungkin saya terlalu ge-er, itu bukan karena saya mulai menghayati setiap peristiwa mereka, melainkan memang mereka yang mulai membuka diri; ketika saat hanya dia[3] dan saya saja yang mengetahui? Boleh jadi, mereka merasakan hal yang sama dan ingin mengungkapkannya, hanya saja dia malu dan takut diledeki ketika pengalaman dia didengar di hadapan banyak orang? Entahlah!
Teman yang mengatakan ke saya bahwa “…jangan bilang cinta dulu! Bilang saja aku butuh kamu!” ternyata tidak “setegar” yang dikira. Padahal dia termasuk orang yang sangat acuh terhadap persoalan seperti ini, setidaknya citra yang tampak seperti itu. Ketika ia mendengarkan sebuah lagu yang mengingatkan seseorang yang tetap hadir dalam dirinya, tiba-tiba ia mulai memejamkan mata; menyandarkan tubuh ke penyanggah belakang kursi; merebahkan tubuh; tersenyum. Ketika saya sedang berdiskusi dengan teman yang lain, tiba-tiba, entah bagaimana secara pastinya peralihan bahan pembicaraan tersebut, suasana dan air mukanya berubah saat wacana cinta mencuat. Padahal dia adalah seorang yang sangat tertutup untuk berbicara hal yang terkait langsung dengan kehidupan pribadi, terlebih membicarakan cinta.
Dan tahukah Anda, anggapan bahwa sehebat apapun kita menganggap cinta sebagai hal yang melemahkan diri, toh, kita tidak mampu menahan sisi emosional kemanusiaan yang ada. Seorang teman wanita pernah mengatakan bahwa “…sebatu-batunya hati seseorang ia akan lemah juga ketika membicarakan cinta yang sedang dialaminya,” walaupun entah kapan hatinya akan luluh. Karenanya, kita harus memaknai dengan benar apa yang dimaksud dengan “cinta sebagai melemahkan diri.” Manusia merupakan makhluk yang sepenuhnya kompleks. Manusia tidak hanya cukup dipahami dari sisi rasionalitasnya, animal rational atau al-hayawan al-nathiq. Manusia juga mempunyai sisi lain yang tidak bisa kita lupakan; sisi emosional atau spritual, misalnya.
Cinta merupakan ranah emosional kita, bukan rasionalitas. Emosional, dalam hal ini fakultas hati, bersifat experential (penghayatan) dalam menilai atau berhubungan dengan realitas. Berbeda dengan rasionalitas yang bersifat meruang-ruang (spatilize). Karenanya rasio tidak mampu memahami mengapa lagu yang kita dengar sebelum kita mengalami mencinta akan berbeda penghayatannya ketika lagu tersebut kita dengarkan dalam keadaan mencinta. Cinta merupakan hal yang menenangkan. Jiwa mendambakan hal yang tenang. Ketika kita gelisah, sesungguhnya jiwa kitalah yang dilanda kegelisahan. Sebab jiwa itu tertawan di dalam tubuh wadag ini, maka ketika jiwa “terluka” akibatnya tubuh pun akan terpengaruh. Dari sini kita bisa memahami kenapa ada orang yang sedang patah hati mendadak tidak bernafsu untuk makan. Padahal jelas hati atau jiwalah yang dirudung duka, bukan tubuh. Sebaliknya, ketika orang yang pengalaman cintanya berjalan dengan sangat baik, ia akan terlihat sangat riang sekali; bersemangat dalam segala hal. Dengan kata lain, keadaan jiwa bisa diketahui melalui cerminan keadaan tubuh.
Saya hendak menegaskan bahwa paparan sebelumnya membawa pada kesimpulan bahwa kita tidak mampu menyembunyikan perasaan cinta bagaimana pun. Ketika kita senang dengan pengalaman cinta, tubuh kita pun akan mencerminkan kebahagiaan tersebut. Begitu juga ketika kita mengalami kepahitan cinta, tubuh kita pun akan memberitahukan keadaan tersebut. Namun demikian, yang perlu digarisbawahi adalah bagaimana sikap kita terhadap persoalan tersebut? Boleh saja kita mampu mengendalikan semua pengalaman tersebut, baik itu menyenangkan maupun tidak menyenangkan. Ketika seseorang melupakan kesedihan cintanya, namun bukan berarti kenangan itu tidak akan muncul kembali. Sebagai misal, walaupun seseorang telah lama mengalami kepahitan berhubungan dengan kekasihnya, boleh jadi ia akan terbayang kembali akan pengalaman tersebut ketika bersentuhan dengan realitas yang mengingatkannya. Banyak orang yang mendengarkan musik tidak hanya bertujuan untuk relaksasi atau bersenang-senang, melainkan untuk mengenang.
Well, ketika bersentuhan dengan realitas yang mengingatkan kita dengan seseorang, kenapa harus takut untuk “menikmatinya?” Dan di mana letak keburukan mengenang pengalaman cinta, terutama yang lalu? (Boleh jadi) stigma kita terhadap seseorang adalah gambaran kepribadian kita sendiri yang terlempar ke luar.
[1] Praasumsi ini harus kita kritisi sedemikian rupa, sebab bila asumsi ini kita biarkan begitu saja, seharusnya (sebagian) lelaki tidak dibolehkan bepergian di tempat umum dengan membawa alat kemaluannya. Sebab dikhawatirkan dapat melakukan tindakan memerkosa.
[2] Ketidaksenangan di sini dipahami sebagai ketidakterwujudan sebuah hal yang didambakan atau yang diharapkan. Sederhananya ketidaksenangan atau kesedihan adalah keadaan ketika keinginan kita tidak mewujud.
[3] Dalam tulisan ini saya lompat dari jamak ke tunggal walaupun objek tersebut tetap satu. Hal itu dimaksud ialah bahwa saya gunakan kata ”mereka” sebagai kumpulan dari ”dia”.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.