Darah adalah Air Kehidupan (cerita no. 1)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.03.2010

Seorang teman bercerita bahwa dia baru saja menikmati makan dan minuman seharga 600 ribuan pada suatu restoran Jepang. Terlihat air muka resah padanya. Entah menandakan kebingungan atas harga suatu hidangan atau resah bersalah menyantap makanan seharga setengah juta lebih itu di saat banyak orang tidak bisa membeli makan seharga ribuan rupiah. Sebagai manusia yang banyak menjumpai fenomena kesulitan pelbagai orang dalam mengakses makanan demi kebutuhan fisiologisnya, bahkan tidak jarang dia mengalaminya, akan menjadi suatu kejanggalan jika dia tidak merasakan kegetiran apa pun setelah makan dan minum.

Adalah ketidaksengajaan jika pada hari itu ia akhirnya memakan makanan itu. Sore itu ia membuat janji dengan seseorang. Dan seseorang tersebut yang mentraktir makanannya. Dan, ia tidak mengetahui harga makanan di tempat tersebut berharga sedemikian.

Tentu saja, tidak hanya teman itu yang pernah memakan makanan yang berharga setengah jutaan, bahkan jutaan rupiah, demi mengenyangkan satu perut, di tengah banyaknya perut yang kelaparan—yang mana perut kelaparan tersebut hanya membutuhkan Rp. 4.000—5.000 untuk mengakses kebutuhan perutnya.

Hati manusia telah mati. Kadang, hati kita menjadi hidup kembali—walau sejenak—ketika ada darah yang tumpah membasahi Bumi. Hati kita menjadi hidup ketika kita melihat kematian. Kita baru terhenyak bahwa uang ratusan ribu hingga jutaan itu, yang kita gunakan untuk memenuhi kebutuhan perut, ternyata sangat berarti dan bermanfaat untuk menyelamatkan getir manusia lapar, ketika manusia lapar tersebut meninggal.

Kesadaran bahwa kita bukan satu-satunya manusia yang hidup di Bumi ini baru mencuat ketika ada kematian. Suatu hal yang tidak mengherankan. Sebab, ”darah” adalah suatu simbol kehidupan. Suatu hal yang mati memerlukan ”darah” untuk hidup.

Hati dan kesadaran kita ditengah keangkuhan kepemilikan telah mati sedemikian. Kadang, kematian membangunkan kesadaran dan hati kita. Itu juga mengapa martir merupakan suatu simbol kehidupan dalam perlawanan. Seorang martir hanya mati pada tataran jasadnya. Akan tetapi, spiritnya akan selalu (meng)hidup(kan).

Kelaparan di mana-mana. Dan, hampir bisa dipastikan semua orang mengetahui hal tersebut. Tapi, tidak semua orang mengetahui dan merasakan bahwa banyak orang mati karena lapar. Sehingga, kesadaran dan hati kita tetap mati sedemikian. Membuat kita masih saja membuang uang ratusan ribu hingga jutaan untuk makan. Tidak menghabiskan begitu saja makanan yang sedang kita santap dengan alasan tidak enak, walaupun kita harus membayarnya dengan mahal. Masih saja kita membuang makanan yang kita konsumsi, padahal sejatinya makanan tersebut masih layak dimakan, dan karenanya masih layak untuk dibagi kepada orang lain. Kita tidak menghabiskan makanan yang kita santap di tengah orang banyak lapar. Kita membuang makanan di tengah jeritan lapar orang banyak.

Kesadaran dan hati kita telah mati. Kita membutuhkan darah untuk hidup kembali. Kendati demikian, apatah perlu kita menunggu kematian terjadi untuk menghidupkan kesadaran dan hati kita kembali? []


Artikel Terkait:

{ 0 komentar... read them below or add one }

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner