Pertanyaan yang perlu diajukan kepada agama dewasa ini ialah mengapa dan bagaimana agama yang mengklaim dirinya sebagai jalan kasih-sayang dan kedamaian serta jalan keselamatan mampu atau bisa memberikan dorongan atau sumber suatu konflik, pertikaian, dan kekerasan serta alienasi antaragama.[1]
Agama sebagai Fenomena Sosial
Agama merupakan suatu fenomena sosial. Dengan cara melihat agama seperti ini, maka agama dilihat tidak hanya sebagai hal yang “jauh” dari kehidupan manusia, yakni duniawi. Agama, dengan demikian, tidak hanya sekadar suatu wahana untuk membincang hal yang “jauh” di sana, yakni akhirat. Pada sisi lain, sebagai fenomena sosial, maka agama merupakan suatu hal keniscayaan kemunculannya dalam setiap relung kehidupan manusia serta zaman dan tempat di mana peristiwa sejarah terjadi di dalamnya. Agama tidak hanya dengan gampangan dianggap sebagai suatu kelemahan manusia atas kehidupan atau sebagai hal umum melulu. Sebagai fenomena sosial, ia mengandaikan dinamika dan dialektika manusia atas kehidupannya. Dengan demikian, ketika dikatakan bahwa agama sebagai suatu hal fenomena sosial, agama segera dapat dipahami dalam kaitannya dengan manusia itu sendiri. Dari sini kita dapat mengerti dengan baik soal agama sebagai jalan-hidup. Jalan-hidup manusia atas kehidupannya.
Agama tidak akan pernah kehilangan relevansinya ketika ia diperiksa dalam ruang kehidupan atau sejarah tertentu. Hal tersebut merupakan suatu konsekuensi logis atas agama sebagai suatu fenomena sosial. Agama jika mau menjadi suatu agama, maka ia harus siap diperiksa pada ruang kehidupan-kehidupan manusia pada masa tertentu. Terlebih, jika agama mengklaim dirinya sebagai suatu hal yang sahih pada tiap zaman dan tempat.
Agama harus bisa menjawab segala tantangan yang ada dalam segala problematika yang mengitari kehidupan manusia. Dengan demikian, klaim agama sebagai jalan-hidup atau jalan keselamatan tidak terpatahkan begitu saja. Epos kehidupan manusia yang telah, sedang atau yang akan berlangsung, memiliki suatu kekhasan dinamika peristiwa tersendiri. Adakalanya masalah yang ditemukan secara substansial adalah serupa, juga kadangkala berbeda satu sama lain. Ketika masalah yang dihadapi agama berbeda sebelumnya dengan masalah yang pernah dihadapinya, agama harus menjawab permasalahan tersebut. Jika tidak, agama akan kehilangan relevansinya. Ketika agama kehilangan relevansinya, maka sama saja ia kehilangan fungsinya dalam kehidupan manusia.
Yahudi dengan Sepuluh Perintah Tuhan merupakan suatu upaya untuk membangun landasan konstelasi kehidupan manusia dengan sinaran ilahiah. Tidak beda dengan Yahudi, Kristen, dengan melalui Kehadiran Yesus Kristus, mengajarkan jalan keselamatan yang bertumpu pada kasih-sayang pada manusia untuk menjalankan kehidupannya. Pun Islam, ia mengajarkan bagaimana menjalani kehidupan sesuai dengan yang Tuhan inginkan (syariat). Dan, itu dibaca dan dimaknai dalam konteks kehidupan manusia itu sendiri.
Agama sebagai Sumber Konflik
Agama sebagai suatu jalan yang diklaim sebagai keselamatan serta sumber kedamaian dan kasih sayang, mengandaikan prinsipalitas atau normatif yang membentuk suatu konstelasi jalan keselamatan itu sendiri. Kendati demikian, ketika agama juga turut memberikan coreng hitam dalam sejarah hidup manusia, maka akan ada pertanyaan muncul di sini: 1) agama, pada satu sisi merupakan sumber keselamatan, di sisi lain juga memberikan tendensi “kekerasan” dalam normatifnya; atau 2) ada keterbedaan antara agama dalam forma idealnya (normatif) dengan agama dalam bentuk fenomenanya (praktik).
Pertanyaan pertama mengandaikan kita untuk memeriksa agama secara menjeluk dan menyeluruh dalam pelbagai bentuknya, entah itu pada aspek eksoterik dan esoteriknya atau secara multidimensional. Pertanyaan kedua membawa pada suatu fakta bahwa ada keterbedaan antara agama itu sendiri dengan agama yang dipahami itu sendiri. Pada titik tertentu, keterbedaan tersebut dapat menjebak seseorang pada pemisahan, tidak hanya keterbedaan. Hal inilah yang pada akhirnya agama dibaca dan dimaknai tidak sebagai penghayatan atas agama itu sendiri, melainkan sebagai suatu sikap reaksioner dan apologetik.
Sejak kemunculannya, Yahudi, Kristen, dan Islam hampir selalu bersinggungan dengan kekerasan, konflik, dan pertikaian antarsatu sama lain. Pernah Yahudi dengan Kristen menjadi bermusuhan, Kristen dengan Islam menciptakan ingatan kolektif pada peristiwa Perang Salib. Yahudi, Kristen, dan Islam dalam sejarah pernah dan masih saling membenci dan beperang satu sama lain.
Melihat kenyataan tersebut, maka bahwa agama sebagai jalan keselamatan perlu dipertanyakan keabsahan klaimnya. Tentu saja, agama bukanlah suatu prinsip atau pandangan-dunia yang banal, dalam arti ia tidak gampangan mengklaim tanpa landasan dan argumentasi yang lemah. Dengan demikian, agama harus bersedia diperiksa sedemikian untuk menjawab tantangan yang ada. Tanpa kemampuan seperti itu, “fungsionalitas” agama bagi kehidupan manusia menjadi hal muspra atau absurd.
Pada sisi lain, memeriksa agama bukan hanya satu-satunya langkah untuk mempertanyakan relevansi agama dalam kehidupan manusia. Hal itu hanya membantu dalam konteks internal agama itu sendiri. Internal dimaksud dalam arti kita memeriksa suatu agama secara per normatif. Ada pun, aspek eksternalnya, yakni bagaimana suatu agama membaca dan memaknai agama lain atau agama di luar dirinya, merupakan hal yang tidak bisa diselesaikan dengan memeriksanya secara internal. Melainkan harus ada jembatan untuk saling memahami klaim masing-masing agama, yakni dengan cara menciptakan dialog yang bertujuan terciptanya kesalingpemahaman dan kesalingpengertian antaragama satu sama lain. Dengan demikian, dialog bisa dikatakan sebagai langkah lanjutan untuk menjawab tantangan yang ada untuk agama.
Penelaahan Agama-Agama sebagai Upaya Meretas Dialog
Kajian sejarah agama, atau yang dikenal oleh dunia akademik Barat sebagai suatu kajian perbandingan agama, merupakan suatu hal yang menjanjikan dalam memberikan kontribusi untuk kesalingpemahaman dan kesalingpengertian antaragama. Dialog tidak hanya sekadar memeriksa agama, melainkan juga berupaya untuk memberikan nilai kesalingpemahaman dan kesalingpengertian dalam ranah praksis agama itu sendiri. Tentu saja segera perlu disebutkan di sini bahwa dialog antaragama tidak langsung memberikan jawaban. Dialog antaragama harus dilihat sebagai prasyarat dan prakondisional untuk agama-agama dalam upayanya untuk saling memahami dan mengerti.
Dalam dialog, ia mengandaikan saling keterbukaan dan kepenghayatan. Dengan demikian, agama tidak lantas segera menganggap bahwa tidak ada jalan keselamatan di luar agama dirinya. Tidak hanya keterbukaan, ia juga mengandaikan saling bahu-membahu untuk menghidupkan agama di tengah gegap gempita perayaan kebebasan dalam menjalani agama. Sehingga tercipta suatu hal yang saya sebut sebagai “masyarakat agama-agama.”
Wa Allah a’lam.
[1] Karena keterbatasan space untuk membahas, maka agama dmaksud dalam tulisan ini lebih menitiktekankan pada Agama-agama Ibrahim.
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.