Pengguna Kendaraan Bermotor Itu Jahat

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.11.2010

Pernahkah kita berpikir bahwa jalan yang sering kita gunakan untuk kendaraan bermotor kita merupakan suatu hal yang sangat diskriminatif? Pernahkah kita berpikir bahwa dengan dasar alasan apa kita berhak menggunakan jalan untuk kendaraan bermotor kita semata, tidak untuk pejalan kaki, padahal jalan tersebut adalah jalan umum, artinya tiap manusia—bahkan hewan dan tetumbuhan—berhak mengaksesnya? Pernahkah kita berpikir bahwa jakan tol itu tidak bisa dibenarkan dan dibuktikan dengan dalil rasional keberadaannya? Pernahkah kita merenungkan bahwa kita, pengguna kendaraan bermotor, sering—dan selalu—berlaku tidak adil terhadap pejalan kaki?


Pernahkah kita merefleksikan bahwa mengapa kita selalu membunyikan klakson kendaraan kita ketika di hadapan kita ada pejalan kaki agar ia merelakan dirinya untuk menyingkir dan memberikan jalan kepada kita terlebih dahulu? Prernahkah kita berpikir sejenak untuk memberdahulukan para penyeberang jalan untuk menyeberang, setelah pada tiap harinya para pejalan kaki tersebut sudah rela untuk menyingkir dan memberikan kita jalan terlebih dahulu ketika kita melewati suatu jalan? Pernahkah kita merenungkan bahwa jalan yang kita gunakan adalah suatu material nonkepemilikan, artinya untuk dan milik setiap orang, bukan milik kita saja—pengguna kendaraan bermotor? Pernahkah kita menggugat sikap kepenerimaan kita atas keberadaan jalan tol bahwasanya jalan tol tersebut adalah pada dasarnya menggunakan basis material (katakanlah tanah dan jalan) nonkepemilikan (baca: milik semua penghuni semesta tanpa kecuali) yang kemudian diklaim begitu saja untuk dikelola oleh suatu pihak, kemudian pengelola tersebut meminta uang yang tidak sedikit kepada kita jika kita hendak menggunakan jalan tersebut?



Jalan adalah Milik Semua
Ketika kita membicarakan persoalan kosmologi dengan pelbagai pendekatan dan disiplin ilmu, seperti filsafat dan metafisika, misalnya, maka jelas akan bisa kita simpulkan dan ketahui bahwa segala hal material yang langsung berkaitan dengan alam yang dibutuhkan oleh manusia merupakan hal yang tidak bertuan: semua adalah pemilik. Tidak ada dasar alasan yang kokoh untuk dipertahankan bahwa tanah, air, sumber makanan, udara, tetumbuhan, binatang, dll. adalah milik segelintir orang saja, atau hanya milik seorang. Tentu, secara historisitas kita akan menemukan persoalan kepemilikan (hak milik) atas material yang dibutuhkan oleh manusia dalam fase sejarah dan peradaban yang ada. Yang menjadi permasalahan kita adalah, dengan menggunakan dasar alasan apa kita bisa mengklaim bahwa material, katakanlah air, yang dibutuhkan oleh orang banyak bisa kita jadikan sebagai milik pribadi kita seorang?

Pun jalan, pada dasarnya merupakan material milik umum. Dalam kehidupan sekarang, kita bisa melihat bahwa jalan tidak selalu milik umum, melainkan milik segelintir orang bahkan milik satu orang. Pertanyaannya adalah bagaimana suatu hal yang dimiliki bersama mendadak berubah menjadi milik segelintir orang? Jawaban untuk pertanyaan ini adalah dominasi dan hak milik.

Peradaban, dalam pengertian modernnya, adalah sejarah dominasi; sejarah penundukkan dan ketertundukkan sekaligus. Peradaban juga bicara soal hak milik atas material yang menjadi hajat orang banyak sebagai hak milik pribadi. Hak milik adalah perampasan. Dengan demikian, ia juga salah satu bentuk dominasi.

Berkenaan dengan jalan, bisa kita lihat bahwa ketika kita menggunakan kendaraan bermotor kita selalu menafikan eksistensi para pejalan kaki. Misalnya, ketika kita mengendarai mobil, kemudian kita mengklakson orang yang sedang jalan di jalan, yang mana orang tersebut lebih dahulu dalam menggunakan jalan. Klakson adalah penanda, dan petandanya adalah dominasi. Mengapa dominasi? Sebab, klakson tidak hanya sebagai petanda untuk pejalan bahwa ada mobil di jalan itu, melainkan juga suatu petanda bahwa agar pejalan kaki memberikan jalan kepada kita, yang menggunakan mobil itu. Dan, itu artinya pejalan kaki tersebut harus menyingkir. Jika tidak menyingkir, kita berhak memarahinya. Pertanyaannya adalah dengan dasar alasan apa kita berhak menyuruh menyingkir? Dengan dasar alasan apa kita berhak memarahinya ketika pejalan kaki tersebut tidak mau memberikan jalan kepada kita? Mengapa kita merasa dibenarkan untuk menyuruh para pejalan kaki tersebut agar menyingkir dikarenakan kita hendak menggunakan jalan tersebut? Mengapa para pejalan kaki harus memberikan jalan kepada kita ketika kita mau menggunakan jalan, yang mana jalan itu tidak hanya milik kita belaka, melainkan milik tiap orang, berarti milik pejalan kaki juga? Apa yang membuat kita berbeda antara pengguna kendaraan bermotor dengan pejalan kaki dalam konteks? Mengapa keterbedaan tersebut mengimplikasikan adanya penyubordinatan dan tersubordinat?

Kita mengatakan bahwa pejalan kaki harus memberikan jalan kepada kita dikarenakan kita mengendarai mobil (atau motor), sedang pejalan kaki tidak. Jadi, wajar saja, jika pejalan kaki harus memberikan jalan kepada kita. Dari sini jelas bahwa ini adalah soal kepemilikan. Dengan demikian, antara pihak yang memiliki kendaraan bermotor dengan pihak yang samasekali tidak memiliki kendaraan bermotor terdapat suatu stratifikasi hierarkis sosial baru. Yang satu berhak mendominasi, dan yang satu harus terdominasi atas dasar kepemilikan.

Pada saat yang sama, kepemilikan tersebut tidak hanya sekadar kepemilikan saja, melainkan juga berbicara dominasi. Jelas, ketika ada dua pihak, yang satu menjadi penyubordinat, dan yang satu tersubordinat, maka itu adalah dominasi. Oleh karena itu, mengapa kita selalu marah ketika pejalan kaki tidak mau memberikan jalan untuk kita, yang mana padahal pejalan tersebut sedang berjalan (menggunakan jalan), bukan berhenti atau bercengkrama—sebab jalan berfungsi atau digunakan untuk berjalan, entah itu menggunakan kendaraan bermotor atau tidak.

Kalau kita mengatakan bahwa kendaraan bermotor itu bersifat melaju dengan cepat, sedangkan pejalan kaki tidak, maka suatu hal wajar dan dibenarkan jika kita harus diberikan jalan terlebih dahulu, ketika pada suatu jalan umum terdapat pengguna kendaraan bermotor dan tidak. Masalahnya, apa memang alasan tersebut, yakni karena kita lebih cepat, maka pejalan berhak kita suruh menyingkir? Kata suruh patut digarisbawahi, sebab ketika pejalan kaki tidak mau memberikan jalan untuk kita, maka kita akan marah kepadanya, yang mana marah adalah petanda untuk menyuruh mereka memberikan jalan kepada kita. Apakah dengan parameter lebih cepat itu kita berhak menyubordinatkan mereka? Pendapat ini lemah. Sebab, kelebihcepatan kita atas mereka tidak mengandaikan untuk mendominasi mereka. Paling banter kita hanya bisa beralasan demi efisiensi waktu. Masalahnya, yang memiliki waktu tidak hanya kita saja, melainkan mereka juga. Jika, kita mengatakan bahwa kita sedang tergesa-gesa, masalahnya bukan hanya kita saja. Boleh jadi para pejalan kaki itu tidak sama kalah tergesanya dengan kita. Pada sisi lain, tidak bisa dipertahankan secara argumentatif bahwa karena kita tergesa-gesa maka kita berhak mendominasi mereka? Kata dominasi tadi ditulis miring (italic) untuk merepresentasikan bahwa kita akan tetap memaksa mereka jika tidak memberikan jalan kepada kita.

Kemudian kita mengatakan bahwa antara pejalan kaki, pengguna motor, pengguna bus, pengguna sepeda, sudah memiliki jalannya masing-masing. Masalahnya, dengan dasar apa kita bisa dibenarkan untuk membeda-bedakan bahwa jalan ini untuk mobil, motor, pejalan kaki, pesepeda, becak, dll.? Jawaban ini adalah kepemilikan. Kepemilikan dalam pengertian modern atau dalam konteks sinaran rezim tiranik ekonomi (kapitalisme), yang mana sinaran tersebut menjadi dasar sistem dan struktur kehidupan sosial yang di dalamnya kita hidup—juga mengandaikan dominasi. Dengan demikian, pemisahan tersebut sama dengan pendominasian. Dan, tidak boleh diabaikan dan dilupakan begitu saja, bahwa pemisahan tersebut tidak hanya sekadar pembagian ruang publik, melainkan juga memjuat unsur nilai dominatif. Bahwa mobil itu lebih hierarkis tinimbang motor; bahwa motor itu lebih itu hierarkis tinimbang sepeda; bahwa sepeda itu lebih hierarkis tinimbang pejalan kaki; bahwa mobil angkutan kota (angkot) lebih hierarkis tinimbang becak; dll. Tanda tidak hanya sekadar penanda belaka, melainkan juga memuat petanda-petanda. Plat kendaraan, tidak hanya sekadar mengodekan jenis kendaraan. Plat “hijau” tidak hanya sekadar “hijau” saja; plat merah tidak hanya sekadar plat merah saja; plat kuning tidak hanya sekadar plat kuning saja; plat hitam tidak hanya sekadar hitam saja; melainkan suatu representasi atas kekuatan dan hierarkis sosial. Bahkan tidak hanya warna plat, huruf terakhir pada nomor plat juga suatu petanda kuasa. BP untuk polisi; BD untuk angkatan darat, dan seterusnya. Jelas, sampai sini kita bisa melihat bahwa penempatan masing-masing jalan atas dasar kepemilikan tersebut tidak hanya sekadar pembedaan, melainkan juga suatu stratifikasi hierarkis sosial. Pada tiap per kategorisnya memuat suatu batasan kekuatan dan kekuasaan tertentu. Dengan demikian, salah satu alasan yang terjadi pada pembagian tersebut adalah soal dominasi dan kepemilikan (sebagai suatu kekuasaan yang bersifat abstrak atau representasi atas suatu kuasa).

Kemudian kita mengatakan bahwa pejalan kaki tersebut mengganggu jalan mobil (atau motor atau apa saja) kita. Jadi, sudah seharusnya mereka memberikan jalan untuk kita. Masalahnya, apa yang dimaksud dengan mengganggu jalan kendaraan kita itu di sini? Karena pejalan kaki tersebut menghalangi jalan mobil kita, yang mana badan mobil kita cukup menghabiskan bahu jalan. Jadi, agar mobil kita melaju lancar, maka pejalan kaki tersebut harus meyingkir ke pinggir untuk membiarkan mobil kita jalan. Masalahnya, jalan tersebut adalah milik publik, artinya tiap orang berhak menggunakannya. Tidak ada alasan yang kuat dan memadai untuk menyuruh pejalan kaki tersebut menyingkir ke pinggir agar mobil kita dapat jalan dengan baik (patut dicatat di sini bahwa pejalan kaki tersebut juga sedang menggunakan jalan, artinya sedang berjalan bukan berhenti begitu saja). Jika kita mau menggunakan jalan tersebut, dan kebetulan pada saat itu sedang ada pejalan kaki yang turut menggunakan jalan itu, maka kita harus berbagi dengan pejalan kaki tersebut. Sebab pejalan kaki tersebut berhak menggunakan jalan tersebut. Jadi, tidak ada alasan yang memadai bagi kita agar pejalan kaki tersebut menyingkir.

Dengan demikian, ketika kita marah dan memaksa kepada pejalan kaki agar menyingkir ke pinggir agar kendaraan kita dapat berjalan lancar, sama halnya dengan melakukan suatu pendominasian. Dalam pendominasian, terdapat satu pihak yang dilemahkan, ditundukkan, disubordinatkan. Dengan demikian, terdapat suatu ketidakadilan di dalamnya. Dalam dominasi juga sama halnya dengan merampas kebebasan sebagai prasyarat kehidupan sosial.


Artikel Terkait:

{ 6 komentar... read them below or add one }

Sukadi Brotoadmojo mengatakan...

seandainya saja setiap peri kehidupan berpegang pada makna filsafat tentunya semua akan menjadi mudah dan tidak akan ada diskriminasi hak pada masing-masing mahluk (benda hidup ataupun benda mati).

salam... maaf kalau pendapat saya keliru, terimakasih :)

FilsafatKonseling mengatakan...

@Sukadi:
Saya setuju dengan pendapat, Mas. Dan, setiap orang pasti berfilsafat, jika makna filsafat itu bukan sekadar pemaknaan akademis.

Saya rasa, barangkali saya yang salah, Mas, dan Mas benar. Atau sebaliknya. Yang penting, ojo jotos-jotosan, Mas :-)

mpokb mengatakan...

Kata teman saya yang naik motor, alasannya pengendara motor ingin terburu-buru karena kepanasan pakai jaket dan helm. Saya bisa maklum, tapi tetap nggak terima kalau diklakson seakan-akan mereka lebih berhak ada di atas trotoar. Ada sih yang sopan, nggak klakson tapi permisi. Pejalan kaki jadi lebih "dimanusiakan" karena diajak bicara oleh sesama manusia, bukan klakson :D

FilsafatKonseling mengatakan...

@Mpokb:
Saya senang dengan kata-kata Anda berikut:"...nggak klakson tapi permisi. Pejalan kaki jadi lebih "dimanusiakan" karena diajak bicara oleh sesama manusia, bukan klakson :D" sungguh mengena maknanya :-)

sawali tuhusetya mengatakan...

hmm ... ternyata pengguna kendaraan bermotor pun bisa dibedah dengan pendekatan filsafat, ya, mas. konon, peradaban sebuah bangsa bisa dilihat bagaimana warganya memanfaatkan fasilitas publik itu.

FilsafatKonseling mengatakan...

@Sawali
Iya, Mas, filsafat cukup lumayan aplikatif, bisa digunakan di mana-mana :-D
Soal sikap kita atas fasilitas publik bisa jadi mencerminkan peradaban sebuah bangsa. Tetapi, itu benar sebagian. Sebagiannya lagi, jangan dilupakan soal ekonomi dan sistem sosial yang membrojolkan suatu fenomena masyarakat kita yang terkesan tidak memiliki fasilitas publik pada tingkat makro, yang boleh jadi pada tingkat mikro malah tidak begitu keadaannya. Dan, omong-omong, tidak selamanya yang kita maksud dengan peradaban itu selalu baik juga kok. Malah, kalo kita mau menengok data antropologis, sejarah peradaban itu penuh dengan dominasi atas alam dan manusia.

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner