Hiper-Ramadhan (3)

Diposting oleh FilsafatKonseling on 8.05.2010



Selamat Datang Bulan Kebohongan

Selamat Datang Bulan Kemunafikan
Selamat Datang Bulan Kekerasan
Selamat Datang Bulan Konsumtif
Selamat Datang Ramadhan

Semenjak segala suatu dilihat memunyai nilai guna dan nilai tukar, manusia berupaya sedemikian untuk menjadikan segala sesuatu sebagai komoditas. Mulai dari hal yang merupakan hal krusial dalam hidup, air sebut saja, hingga hal yang khas dari kita, hasrat dan daya kreasi kita, harus kita dapatkan dengan mengonsumsi, yang artinya kita harus mengeluarkan uang, sebagai alat tukarnya. Begitulah, hingga kita merasa terkesima dan tak mengerti, mengapa ada manusia yang mati karena kelaparan, buruknya air minum, tak mampu berobat, dll., di tengah masyarakat secara global maupun lokal hidup dengan pola konsumtif tingkat tinggi.

Kapitalisme, sebuah paradigma ekonomi dunia modern, tidak hanya memasuki wilayah publik saja dalam mengakumulasikan kapitalnya, melainkan juga wilayah publik. Mengarahkan segala hasrat Anda untuk dimanifestasikan kepada hal penting menurut logika kapital. Tidak cukup, kapitalisme pun menelikung agama. Sebut saja seperti sekarang ini, Ramadhan.

Paling tidak, dua minggu sebelum Ramadhan tiba-tiba, kapitalisme mulai meruyak ke dalam ranah publik dan privat pada Ramadhan. Mulailah ranah publik, katakanlah seperti taman kota, jalanraya utama, terminal, halte, dll., dipenuhi dengan aneka media iklan untuk menyongsong Ramadhan. Tidak soal ketika kaum Muslim gembira menyambut kedatangan Ramadhan. Masalahnya menjadi lain, ketika menyambut kedatangan Ramadhan ditujukan untuk mengakumulasikan kapital sebanyak-banyaknya, seperti yang ditawarkan oleh iklan-iklan tersebut. Seperti, jangan lupa untuk berbuka pada tempat ini, tempat itu; berbukalah dengan makanan ini, makanan itu; dll.

Mendadak pusat-pusat perbelanjaan merubah tataruangnya dipenuhi dengan semangat Ramadhan, atau mendadak membuka gerai-gerai kagetan khusus menyambut datangnya Ramadhan. Jamak pusat penjualan makanan cepat saji, menawarkan menu baru spesial Ramadhan. Tidak mau ketinggalan, dunia pertelevisian pun. Muncullah berlusinan sinetron yang diklaim sebagai bernafas religi untuk memberikan makna tambahan dalam menjalankan puasa orang banyak. Mendadak para aktor/aktris, khususnya aktris, yang sebelumnya abai akan penampilan berpakaian, kini menjadi lebih tertutup, katakanlah kalau mau lebih islami. Setelah puasa berlalu, kembali pola pakaian tersebut ditanggalkan. Hanya demi tuntutan peran, katanya. Atau menjaga citra di tengah masyarakat, sambungnya. Masih banyak daftar yang bisa ditambahkan betapa ekstensifnya kapitalisme meruyak ke mana-mana dalam ranah keagamaan. Betapa meningkatnya daya konsumtif, kebohongan diri, kemunafikan masyarakat Muslim ketika menjalankan puasa.

Semoga kita dapat berpuasa full dan belanja full.


Artikel Terkait:

{ 1 komentar... read them below or add one }

ALI BUTHO mengatakan...

Dua dimensi puasa ramadhon, pertama vertikal dan kedua Horizontal. Untuk yang pertama biarlah menjadi bidang mereka yang sudah meneliti secara dalam dan lakukan uji rasional, karena memang Agama ada didalam wilayah Rasionalitas, jika premis yang sering diistilahkan sebagai wahyu Illahi saling mendukung satu sama lain maka agama benar secara rasional.

Dlam sumbu horizontal, Puasa mengajarkan kesholihan sosiall-hidup, Mmenumbuhkan emphati sosial. Membangun jiwa kritis melalui refleksi selama satu bulan, bagaimanakah diri dalam keadaan lapar selanjutnya diproyeksikan kepada kondisi sosial, tujuan yang hendak dicapai adalah memahami kemiskinan yang diderita ummat mayoritas dan dampaknya bagi sikap perilaku dalam keadaan lapar, setrelah paham diharapkan tumbuh sikap menghormati, menyayangi, membela umat manusia.

Bulan Ramadhon juga adalah masa-masa dimana Kapitalisme Konsumen mulai ber eksistensi, dalam prepektif religius, Iblis yang awal sebelum bulan Ramadhon berwujud Kapitalisme Produksi beralih rupa dibulan suci. Melalui media virtual membangun hegemoni tentang standar norma-norma baru yang berhadap muka serta bertentangan dengan rumusan-rumusan,anjuran yang sebenarnya sebagaimana yang dikehendaki normative oleh kandungan pesan moral spiritual didalam ajaran tentang Bulan Ramadhon.

Kapitalisme konsumen, bukan dihasilkan oleh Kesholihan bulan ramadhon, didalam masyarakat non islami seperti Indonesia dimana Islam sudah disesuaikan dengan wawasan Bhineka Tunggal ika, maka realitas yang muncul adalah Fakta-fakta sosial yang dibangun oleh sinkretisme (terutanmanya oleh nilai-nilai Kapitalisme protestan seperti yang dikatakan webber), kesalahan pengamat dalam paradigma positivisme struktutal adalah menjadikan Fakta sosial adalah realitas puncak, yang nampak adalah yang tersirat, sedang tersurat sebagai hakikat yang nampak sudah tidak perlu dipertanyakan lagi mengingat peneliti atau pengamat dalam alur positivistik, secara ontologik memandang manusia sebagai realitas materiil.

Posting Komentar

Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.

 

YANG MENGIKUT

Creative Commons License
This work is licensed under a Creative Commons Attribution 3.0 Unported License.

Hasil Bertukar Banner