Entah karena alasan apa, salah satu guru saya bertanya soal pilihan saya dalam melihat dunia, yang mana pilihan tersebut banyak memengaruhi saya, yang di antaranya, dalam memaknai pola relasi sosial dan menafsirkan agama.
“Sampai kapan kamu akan menjadi orang yang "seperti" ini?”
Saya agak terkejut dengan pertanyaan ini. Apakah dia bertanya untuk sekadar pengin tahu atau menguji. Atau barangkali dia meragukan pilihan saya, menganggap sebagai euforia di masa muda.
“Ya, kurang tahu juga sih, Om,” jawab saya telat.
“Maksud aku, apakah ide yang kita pegang tersebut harus dijalankan tanpa kompromi, tanpa merhatiin keadaan dan alasan, atau enggak. Kadang kita punya alasan kuat, tapi enggak keadaannya. Nah, kalo maksud pertanyaan, Om, apa aku akan membuang ideku ketika harus kompromi, ya aku bilang enggak. Jadi, ya aku akan tetap megang ideku (jika ide itu masih tepat). Ini kan soal taktik, yang mana taktik itu juga dibangun pada ide itu sendiri. Jadi, kompromi yang ada pun dilakukan dengan sinaran ide itu sendiri,” sambung saya.
“Ok, I see,” timpalnya.
Mungkin pembicaraan saya dengan dia, bisa dikatakan semacam penguat dan pengingat. Mengingat dia juga merupakan seorang yang memiliki pandangan keagamaan, paling tidak dalam konteks Indonesia, merupakan minoritas. Saya juga paham bahwa dia menanyakan hal itu bukan tanpa sebab atau alasan.
Guru saya itu sekadar guru bagi saya, melainkan juga seorang teman, kakak, dan tentu saja guru spiritual saya. Dari interaksi kami selama ini, dia memang sangat penyayang dengan orang yang dikenalnya. Itu juga kenapa saya lebih nyaman memanggilnya dengan panggilan “Om” ketimbang ustadz.
Pertanyaannya itu membuat saya sejenak untuk tepekur. Sejauh mana bangunan pemikiran saya berperan dalam kehidupan yang dijalani. Akankah saya siap akan segala konsekuensi atas pilihan-pilihan yang diambil dan ditempuh. Mengapa saya tidak membiarkan diri ini larut dalam arus utama. Mengapa saya tetap berpendapat bahwa dunia yang selama ini dipahami banyak orang perlu di(de)rekonstruksi. Pertanyaan-pertanyaan lain berkelebatan di benak saya. Paling tidak, pertanyaan itu semakin mengingatkan saya bahwa akan ada kemungkinan-kemungkinan yang boleh jadi buruk menimpa atas pilihan yang sudah dipilih.
II.
Beberapa hari kemudian, pada waktu malam mulai memasuki masa pekatnya, saya ngobrol-ngobrol dengan salah satu guru saya yang lain di rumahnya. Guru saya yang satu ini, selain salah satu ahli filsafat Islam, merupakan seorang ustadz muda yang cukup menarik pemikirannya. Ada banyak hal yang dibicarakan pada waktu itu. Dan, tentu saja, ada banyak hal yang bisa saya dapatkan dari obrolan tersebut.
Entah bagaimana, kita membicarakan sampai pada soal martir. Makna martir dalam kehidupan ini. Darah martir yang sangat diperlukan dalam hidup. Seakan-akan, atau jangan-jangan memang, martir merupakan salah satu dinamika dari sejarah hidup. Membicarakan martir berarti bicara perjuangan. Perjuangan demi kehidupan yang lebih baik.
Akal saya telah sampai pada kesimpulan bahwa tidak ada kejadian-kejadian di kehidupan ini keserbabetulan.
Setiap peristiwa selalu saja ada sasmita atau makna di dalamnya. Boleh jadi, bisa saja Anda mengatakan bahwa saya terlalu memaksakan untuk mencocok-cocokan peristiwa yang ada. Akan tetapi, ketika segala peristiwa itu memberikan efek dalam kesalinghubungannya, maka tentu ada realitas di sana. Setiap efek menandakan realitas.
Perbincangan saya dengan dua guru saya itu menemukan kesalinghubungannya. Bahkan, hal itu menjalin kesalinghubungan dengan hal-hal lain yang sudah saya alami sebelumnya.
III.
Masyarakat sekarang secara umum telah buta, tuli, bisu, dan mati hatinya, dalam melihat kejadian-kejadian yang ada di dalam kehidupan sekarang. Kemiskinan mengemuka di mana-mana. Fenomena kelaparan pun tidak sulit ditemukan. Fenomena penindasan, ketidakadilan, otoritarianistik, mudah ditemukan dalam keseharian kita. Kasih sayang yang hilang, cinta yang hilang, kepedulian sosial yang mulai memudar, nampak akrab dengan keseharian. Tegur sapa manusiawi selalu diselimuti dengan kecurigaan.
Banyak orang berbelanja melampaui kebutuhannya, pada saat sama banyak orang didera kemiskinan dan kelaparan. Banyak pusat perbelanjaan, apartemen, kondomonium dibangun, pada saat sama banyak orang tidak memiliki tempat tinggal, dan tidak sedikit yang kehilangan tanah atau pemukiman karena digusur demi pembangunan hal-hal yang disebutkan sebelumnya.
Banyak orang mengeluarkan uang untuk membeli makanan yang berharga di luar jangkauan nalar, pada saat sama banyak orang mencuri untuk memenuhi kebutuhan perutnya.
Negara beserta aparatusnya banyak membuat kebijakan-kebijakan yang malah menimbulkan kemudaratan yang hebat, kendati demikian negara tetap dilihat sebagai hal yang tidak bersalah dan tercela. Banyak pejabat negara yang menggunakan uang rakyatnya bukan demi kepentingan rakyat, melainkan dirinya sendiri. Akan tetapi, tetap saja kita selalu mendambakan akan munculnya pejabat negara yang baik hati, tanpa pernah berpikir bahwa apakah sistem negara yang membuat hal itu terjadi.
Keburukan-keburukan pada kehidupan banyak orang yang diakibatkan oleh penguasa negeri ini, masih tetap tidak membuat kita berpikir bahwa para penguasa itu hadir untuk apakah untuk mepentingan publik atau kekuasaan dan kapital belaka. Alih-alih mengambil alih kontrol hidup ke tangan kita dari penguasa, kita malah membiarkan terus menerus para penguasa mengontrol hidup kita, walaupun para penguasa itu selalu membayar dengan kemudaratan atas sikap kepatuhan kita kepadanya.
Masyarakat kita adalah mayat hidup, untuk tidak mengatakan sudah benar-benar mati. Dunia kita sudah mati. Bumi sebagai tempat kita berpijak seakan-akan mati, hingga tidak menginspirasikan kita untuk menghidupkan hidup kita.
Seorang pernah berkata bahwa darah martir sangat diperlukan bagi kehidupan di dunia ini, ketika masyarakat telah buta, tuli, bisu, dan mati hatinya. Untuk menghidupkannya ialah dengan darah, darah seorang martir. Darah seorang martir yang membasahi bumi akan memberikan kehidupan dan menginspirasikan kehidupan.
Mendadak saya teringat kasus Munir. Pascakematian Munir, banyak berbagai kalangan yang mulai mencoba memeriksa kembali penglihatannya, pendengarannya, dan angkat suara serta menengok hatinya. Munir mati akibat tindakannya selama ini dalam melihat dunia yang dijalankannya. Akan tetapi kematian Munir memberikan nafas kehidupan untuk banyak orang. Kematian Munir menghidupkan banyak Munir yang lain. Mungkin inilah yang dimaksud dengan “Gugur satu tumbuh seribu”.
Tentu saja tidak hanya Munir yang kematiannya memberikan kehidupan dan inspirasi untuk menghidupkan kehidupan. Di dunia ini kita tahu bahwa banyak orang yang melawan tirani yang sudah mati dan menemui kematian akibat perlawanannya, akan tetapi kehadirannya selalu saja tetap dirasakan. Bahkan, dalam Kitab Suci disebutkan bahwa tidak selamanya “Kekasih Tuhan” yang mati itu dikira benar-benar mati di dunia ini.
Kematian tidak selamanya adalah kematian itu sendiri.
Catatan:
- Tulisan ini merupakan tulisan yang sudah saya buat beberapa tahun silam, yang boleh jadi sudah tidak mencerminkan keadaan saya sekarang. Sekadar berbagi catatan dan dokumentasi hidup.
- Saya terpikir untuk menaruh tulisan ini lantaran sesuai dengan semangat para pejuang yang gugur membela ketidakadilan. Dan kita akan menyambut kemerdekaan Indonesia sebentar lagi. Saya juga juga ingat nasib orang banyak yang berjuang untuk lepas dari penjajahan. Jadi, selamat merenungkan makna kemerdekaan, yah :-)
- jangan lupa baca bagian pertama cerita ini di sini yah.