Gambar dari sini. |
Menurut tradisi esoterik manusia memiliki tiga dimensi: jasmani (body), jiwa (mind), dan ruh (soul). Trinitas ini merupakan esensi manusia yang di dalam tradisi disebut-sebut sebagai cerminan Tuhan. Manusia diciptakan menurut atau dalam bentuk Tuhan, demikian riwayat. Sesuai dengan tiga dimensi tersebut, maka segala ritual keagamaan memiliki dimensi trinitas pula. Misalnya, puasa.
Puasa pada hakikatnya merupakan pengosongan. Dengan merujuk esensi puasa ini, maka puasa secara jasmaniah merupakan upaya reintegrasi atas kejatuhan dimensi transendennya ke dimensi jasmaniah. Lapar adalah simbol akan kedambaan untuk kembali.
Secara jiwa puasa mengarahkan rasionalitas menuju tataran transendental. Ini juga upaya reintegrasi. Rasionalitas pada sifatnya adalah parsial dan terbatas. Untuk melampaui keterbatasan dan reintegrasi ia harus tergantung pada intelek (ruh). Pengosoangan jiwa berarti mengosongkan segala sesuatu kecuali Yang Absolut.
Secara ruhaniah adalah mengosongkan diri dari ego dan mengarahkan intelek kepada Yang Absolut. Seperti kata Meister Eckhart agar Tuhan dapat masuk manusia harus keluar.
Dengan demikian, puasa adalah semacam kematian, tidak hanya sekadar mengatur hawa nafsu yang muncul secara fluktuatif dalam diri manusia.
Kematian di sini adalah kekosongan. Seperti dalam maksim tradisi esoterik Nasrani, Tuhan menjadi manusia agar manusia menjadi Tuhan. Manusia harus mati agar Tuhan masuk dan manusia menjadi Tuhan atau Insan Kamil dalam bahasa Ibn 'Arabi atau The Noblest Man menurut Meister Eckhart.
Dikatakan dalam ortodoksi Islam bahwa hanya Ibadah puasa yang langsung diganjar oleh Tuhan. Ini artinya, menurut Ibn 'Arabi, ganjaran puasa bukanlah pahala atau kebaikan, melainkan Tuhan itu sendiri yang menjadi ganjarannya.
Menurut hadits yang populer di lingkaran sufi Tuhan berkata bahwa:
"barang siapa yang mencariku
maka dia akan menemukanku
barang siapa yang menemukanku
maka dia akan mengenalku
barang siapa yang mengenalku
maka akan mencintaiku
barang siapa yang mencintaiku
maka aku pun mencintainya
barang siapa yang Aku cintai
maka Aku akan membunuhnya
barang siapa yang Aku bunuh
maka Diriku yang menjadi ganjarannya"
Dengan demikian, puncak pencapaian spiritualitas dari puasa adalah ketika seorang hamba terbunuh oleh Tuhannya dan mendapatkan ganjaran Diri Tuhan sebagai denda hukuman pembunuhan diri seorang hamba itu. Ketika seorang hamba mendapatkan ganjaran Diri Tuhan, maka tidak ada apa-apa selain Diri Tuhan itu sendiri.
{ 9 komentar... read them below or add one }
"puasa adalah ketika seorang hamba terbunuh oleh Tuhannya dan mendapatkan ganjaran Diri Tuhan sebagai denda hukuman pembunuhan diri seorang hamba itu" sebuah kata yang cukup mengerikan bagi orang awam
@ Achmad Sholeh
Terima kasih, Mas, atas komentarnya. Maaf, boleh saya tahu, seperti apa mengerikannya? Saya merasa di dalam al-Quran dan hadis juga banyak yang bicara soal kematian, azab, dan neraka.
Seperti yang sudah saya bilang di awal bahwa saya menggunakan pendekatan esoterik, dalam hal ini tasawufnya Ibn Arabi, maka pemahaman simbolik perlu juga dikedepankan. Soal kalimat "terbunuh" itu kata lain dari makna hadis yang saya kutip itu. Dan, makna utamanya adalah soal kesadaran bahwa ketika seseorang berhasil mencapai puncak puasa maka dia merasa bahwa dirinya tidak ada lagi lantaran yang ada hanya Dia saja, yang lain tidak riil. Betapapun, komentar Anda jadi membuat saya berpikir kembali soal penggunaan kata yang terlalu atau berkesan kasar atau ekstrem. Saya berterima kasih untuk itu.
salam.
Ehm ... permisi mas mau ikut diskusi.
Wah .. judul tulisannya "nakal" mas. Saya suka!
Dan penilaian mas Achmad Sholeh bhw kutipan itu mengerikan, benar sekali. Tapi bagi siapa? Ya bagi yg melihat segala sesuatu dari "bungkusnya". Dan bg saya, judul tulisan ini masih mengmbil jalan tengah, agar tdk terlalu menabrak efek sosial.
Dalam imajinasi saya tulisan ini bisa jg dibuat judulnya dg "Puasa itu dalam rangka membunuh tuhan". Tapi tuhannya huruf kecil. Sbg dasar yg "merangsang" kita bisa berangkat dari intisari filsafat Netszche, walupun ini sangat menggegerkan bagi yg beragama tdk dg berpikir.
Tp kalau kita mau jujur, secara intelektual, inti dari semua ayat tauhid adalah membunuh semua tuhan-tuhan yang bersembunyi dalam hati dan pikiran kita. Dan saya setuju dg tulisan mas bhw agar Tuhan masuk kosongkan diri kita. Kita menjadi Tuhan dengan membunuh kemanusiaan kita. Saya jadi teringat dg Al-Hallaj mas.
Dari sisi esoterik, bagi saya tulisan ini sangat klop. Dlm filsafat ini pantheisme. Dalam tradisi sufi ini hulul. Tapi ini baru salah satu jenis wacana tentang Tuhan.
Tapi bagaimana kalau kita benturkan dg sudut pandang lain mas? Dg Kant misalnya?
@ Erianto Anas:
Puncak pemahaman yang hendak ditekankan oleh tasawuf, yang juga diikuti oleh posisi tulisan ini, ialah matinya tuhan-tuhan selain Dia dalam diri sehingga diri manusia pun turut sirna. Diri di sini bukan sekadar jasadi melulu, melainkan ego transendental.
Soal Nietzsche, para ahli masih berbalah-balah soal posisi Tuhan dalam pemikirannya. Belakangan, Roy Jackson dan Ian Almond sedang mengupas habis kontribusi pemikiran Nietzsche untuk memahami dimensi baik eksoterik dan esoterik dari Islam. Saya, untuk sementara, akan melewatkan ini dulu lantaran posisi yang bertolak belakang dari pemikiran Nietzsche mengenai kebertuhanan dua-duanya masih kukuh secara teoretik. Barangkali, pada kesempatan lain saya akan menulis soal Nietzsche dan Islam.
Omong-omong, jika Mas menganggap metafisika sebagai cabang dari filsafat, tentu pemikiran esoterik yang diangkat tulisan ini bisa diklasifikasikan sebagai panteisme atau boleh jadi masuk juga ke dalam corak panenteisme. Masalahnya, saya salah satu orang yang menolak metafisika itu cabang dari filsafat jika filsafat dianggap sebagai sesuatu yang mutlak rasional. Dalam epistemologi metafisik, dikenal sumber pengetahuan yang disebut intelek yang bukan arti dalam bahasa Inggris dan Indonesia kontemporernya, yaitu rasional. Intelek dimaksud adalah fakultas ruhaniah yang disebut oleh Meister Eckhart tidak diciptakan dan tidak bisa dimusnahkan. Wilayah tangkapan fakultas ini adalah suprarasional jika mau dikaitkan dengn rasionalitas.
Untuk membunuh tuhan dalam diri kita sehingga hanya ada Dia, fakultas rasio tidak mampu mengukuhkan lantaran salah satu prinsip Dia yang serbakontradiktif tidak bisa diakomodasi oleh rasio. Di sinilah intelek berperan.
Memang, tradisi esoterik ini bersifat perennial, jadi Anda bisa mendapati semangat tulisan ini di al-Hallaj juga.
Soal Kant, sejak dia membagi nalar itu menjadi dua bagian: nalar murni dan nalar praktis, persoalan yang ditangkap tulisan ini paling banter bisa dibicarakan pada konteks nalar praktisnya. Kant gamblang menggusur metafisika.
Tidak heran, gara-gara pengerusan metafisikanya itulah mencuat Neo-Thomisme yang dikembangkan oleh E. Gilson dalam pembicaraan soal Tuhan dan agama dalam konteks Kantian.
Saya tertarik soal metafisika apa masuk filsafat atau tidak. Komen saya pertama tentu masih selayang pandang. Tapi kalau kita kuliti lagi, pada akhirnya, menurut saya, semuanya bisa jadi blur. Krn kita harus mundur ke epistemologis. Mana yg lbh valid. Nah kalau sudah soal valid tidak valid, apa ujung-ujungnya kita tidak berakhir pada hegemoni wacana atau epistemologis?
Judulnya kontroversial... hehehe.... hampir aja aku mengumpat, tapi cukup menarik perhatian, buktinya aku tertarik untuk membacanya.... selamat... selamat... selamat...
@Erianto:
Saya rasa terlalu tergesa-gesa mengaitkan validitas sebagai sesuatu yang hegemoni lantaran validitas itu terkait pada soal metodologi. Karena metodologi menentukan hasil, jelas merupakan langkah tidak berlebihan jika itu disorot terlebih dahulu. Karena tulisan ini soal puasa, titik berangkat fiqih dengan tasawuf jelas menghadirkan puasa secara berbeda satu sama lain. Dalam aturan fiqih, puasa bisa disebut absah jika tidak makan, minum, dan melakukan sanggama pada siang hari. Kalo hal lain, seperti berpikir kotor, itu tidak membatalkan puasa secara fiqih, paling banter mengurangi nilai puasa. Berbeda dengan tasawuf, jangankan soal berpikir kotor, beranggapan bahwa kita bergantung pada amal melulu tidak pada al-Haqq, itu bisa disebut suatu dosa yang menggugurkan puasa secara hakikat. Namun, ada pegangan secara umum dan khusus. Rasanya sulit sekali memenuhi fiqih puasa jika acuannya adalah tasawuf. Itulah mengapa saya menekankan juga agar tulisan ini ditempatkan pada konteks tasawuf.
@CahBagus
Soal judul, saya akui memang agak menohok perhatian. Namun, jika dilihat dari titik tekan tulisan, memang soal itu yang diangkat. Jadi, memang tidak ada pilihan lain :-) paling tidak buat saya :-p
Makasih yah tidak mengumpat sebelum membaca. Kalo Anda sudah membaca, lalu mengumpat tidak soal, selama Anda baca terlebih dahulu. Saya juga enak ntar menimpali umpatannya :-p
bagi saya SEMUA ITU BOHONG,,,,,,,, adakah orang yang MATI karena PUASA dengan NIAT BERPUASA yang SUNGGUH-SUNGGUH???? jika ada, TUNJUKAN PADA SAYA .....
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.