Apa sih merdeka itu? Barangkali Sahabat pernah bertanya seperti itu, atau malah sekarang sedang mempertanyakannya? Atau malah tidak sama sekali? Betapapun, pertanyaan tersebut jelas relevan kita angkat untuk kita renungkan mengingat 7 hari lagi bangsa ini akan merayakan Hari Kemerdekaannya yang ke-65.
Entah bagaimana dengan tempat Sahabat, daerah yang sedang saya mukimi sejak beberapa hari lalu para penduduknya sudah memasang lampu warna-warni yang berkelap-kelip di rumah masing-masing, dan tentu saja memajang bendera merah-putih, entah itu bendera yang baru saja dibeli atau peninggalan tahun sebelumnya. Seperti bulan puasa yang belakangan selalu ditandai dengan serangan iklan berbau Ramadhan di sana-sini, pada Agustus, menjelang 17 Agustus, ini juga serupa, ditambah tumpahnya para penjual bendera di jalan, seperti penjual terompet Tahun Baru. Kadang, Sahabat tidak harus merujuk kalendar apa sekarang sudah memasuki bulan Ramadhan atau Agustus lantaran hal itu bisa dilihat dari iklan (saya merasa kesadaran para pengiklan akan bulan lebih bagus dibanding dengan kita yang bukan pengiklan :-)).
Selain jual-beli bendera dan lampu kelap-kelip berwarna, menjelang Perayaan Kemerdekaan Indonesia per tahun itu juga bakal ditemui kesibukan orang-orang dalam menyiapkan gelaran aneka lomba, bahkan untuk lomba sepak bola ada yang digelar sejak Juli.
Perlombaan sudah identik dengan Perayaan Kemerdekaan Indonesia. Bisa dibilang, tanpa ada perlombaan, bangsa ini terasa belum merdeka penuh. Dan, tidak hanya masyarakat tempatan yang menggelar lomba, institusi pendidikan pun serupa, selain ditambah dengan kegiatan upacara bendera.
Pada 17 Agustus, banyak pelosok gang, pelbagai tempat, dipenuhi dengan orang. Anak-anak, orang dewasa, lelaki dan perempuan, orang muda dan tua, semua berbaur, merayakan gegap-gempita, merayakan kemerdekaan, merayakan ingatan bahwa 65 tahun lalu negeri ini akhirnya lepas dari penjajahan Belanda, merayakan ingatan bahwa sudah banyak anak negeri ini yang memberikan darahnya untuk kehidupan bangsa ini.
Sesuatu yang dilakukan berulang-ulang bisa disebut sebagai kebiasaan. Dan, kebiasaan itu jika tidak dihayati atau direnungkan bakal kehilangan esensinya. Begitu juga dengan perayaan atau sikap gegap-gempita kita dalam menyambut 17 Agustus.
Setiap tahun kita memajang bendera merah-putih di depan rumah; memasang lampu atau pernak-pernik simbolik kemerdekaan; mengadakan dan ikut serta dalam lomba; sebagian mengikuti upacara bendera; sebagian membangun gapura di depan gang masing-masing; dan hal lainnya. Tetapi, kesemua itu menjadi hal berlalu begitu saja, kebiasaan tanpa makna, jika setelah 17 Agustus berlalu, kehidupan kita kembali ke sedia kala, kembali sebelum 17 Agustus datang. Misalnya, lupa lagi bagaimana negeri ini dibangun; lupa akan perjuangan orang-orang yang berusaha melepaskan dirinya dari penindasan; lupa atas tindakan seseorang pra-Merdeka yang memberikan harta-bendanya untuk perjuangan atau menolong orang yang sedang kesusahan lantaran ditindas.
Saya tidak hendak mengatakan bahwa kesemua kegiatan itu tidak perlu dilakukan. Ingat atau mengingat itu sudah bagus. Dengan sikap kita yang menyambut 17 Agustus itu tentu bagus dibanding dengan tidak ingat. Lantaran itu menandakan bahwa negeri ini memiliki makna. Namun, ingat tidak cukup. Kita perlu satu langkah lagi, yakni berupaya merealisasikan hasil perayaan atau renungan kita menyambut 17 Agustus. Untuk melakukan penyembuhan, jelas kita harus menyadari atau mengetahui bahwa diri kita sedang sakit. Jika kita tidak sadar atau tahu bahwa diri kita sedang sakit, apa yang mau diobati. Tetapi, untuk penyembuhan, selain sadar akan sakit, masih membutuhkan satu hal lagi, keinginan: keinginan untuk sembuh. Meski kita tidak punya kemauan untuk menyembuhkan diri, masih baik tinimbang tidak sadar bahwa dirinya sakit.
Perayaan 17 Agustus yang per tahun itu kita galakkan tentu bagus. Dan akan lebih bagus lagi jika kita tidak berhenti hanya pada hari itu: kita merealisasikan cita-cita atau makna merdeka itu sendiri di hari berikutnya. Di Papua sana, saudara/i kita masih ditindas; di tempat lain banyak masyarakat adat dirampas tanahnya; di sekeliling kita masih banyak orang lapar dan tidak mendapatkan pekerjaan; atau barangkali di dalam diri kita ini masih ada penjajahan, yakni kita belum merdeka dari hawa nafsu diri sendiri seperti tamak, serakah, korup, dan sejenisnya. Melakukan perubahan sosial memang berat, dan keterlaluan jika seseorang harus memerhatikan itu semua lantaran ketidakadilan dan penindasan ada di mana-mana. Paling tidak, kita masih bisa memeriksa diri kita sendiri, apakah kita ini bebas dari sikap para penjajah? Momen Kemerdekaan 17 Agustus jelas bisa dijadikan wahana buat kita mengingat setelah hari-hari sebelumnya kita alpa. Setelah kita mengingat, menghayati, merenung, barangkali ada hal yang bisa kita lakukan atau ubah dengan lebih baik dibandingkan ketika kita tidak ingat. Singkat kata, ingat bahwa negeri merdeka sejak 65 tahun lalu tidak cukup, kita butuh satu langkah lagi untuk melestarikan kemerdekaan!
Jadi, apa sih kemerdekaan itu? Sahabat, Anda bisa berbagi pendapat dengan saya jika Sahabat punya pemahaman dan pemaknaan mengenai kemerdekaan yang khas. Saya tunggu, yah!
{ 0 komentar... read them below or add one }
Posting Komentar
Terima kasih atas peluangan waktu Anda membaca tulisan ini. Tentu saja, saya akan lebih berterima kasih lagi jika Anda ikut mengomentari tulisan ini.